image_pdf

Nailul Maghfiroh, S.Pd, adalah alumni Unviersitas Negeri Malang yang saat ini tercatat mengabdi di sekolah perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Madrasah Ibtidaiyah Darul Furqan, Yayasan Al-Rasyid Kabupaten Nunukan. Alumni Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, angkatan tahun 2013 ini mengikuti program dari Dompet Dhuafa. Perempuan kelahiran Gresik, 5 Maret 1995 tersebut mengaku tertantang untuk mengabdi di sekolah tapal batas sebagai bagian dari upaya pemerataan pendidikan di halaman muka Indonesia.

Sekolah yang populer dengan sebutan Sekolah Tapal Batas ini berada di Pulau Sebatik, pulau seluas 452.2 km2 yang terbelah menjadi bagian dari wilayah Negara Bagian Sabah, Malaysia (187,23 km2) di sebelah utara dan bagian dari wilayah Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara (246,61 km2) di sebelah selatan. Sekolah yang terletak di Desa Sei Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara ini  merupakan potret dari timpang dan rumpangnya pendidikan di Indonesia, khususnya bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia.

Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media nasional, anak-anak TKI, khususnya yang bekerja di perkebunan sawit di wilayah Pulau Sebatik Malaysia kurang mendapatkan fasilitas pendidikan serta motivasi untuk belajar dari orang tua mereka. Hal ini mendorong Hj. Suraidah, S.SKM., MNSc., untuk memfasilitasi anak-anak tersebut dengan menyediakan pendidikan dasar di perbatasan. Berkat pengabdiannya ini, Suraida, selaku kepala sekolah, terpilih sebagai salah satu dari 72 sosok peraih apresiasi di Festival Prestasi Indonesia 2017 yang diberikan oleh Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) atau sekarang bernama Badan Ideologi Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kategori pegiat sosial.

Sekolah yang berdiri pada 2014 ini masih memiliki keterbatasan, baik dalam hal sarana prasarana maupun sumber daya manusia. Sebagian besar ruang kelasnya adalah rumah panggung bekas hunian pekerja kebun sawit. Siswa-siswinya harus menempuh sekira 2 jam perjalanan dengan jalan kaki dari rumah ke lokasi sekolah. Saat ini, telah tersedia sarana pemondokan putra dan putri bagi siswa-siswi yang jarak rumahnya jauh serta sarana peribadatan. Namun, keterbatasan sarana MCK membuat siswa harus mandi di sungai.

Meski demikian, Nailul Maghfiroh tetap menjalani tugas dan kewajibannya dengan semangat mengabdi pada negeri. Mahasiswa yang aktif di organisasi UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Pramuka, Formadiksi (Froum Mahasiswa Bidik Misi), Seruni (Sentuhan Nurani Islam) BEM FIP, serta kegiatan kerelawanan pascagempa Lombok di Sekolah Guru Ceria Lombok Oktober 2018-Pebruari 2019 ini, pada awalnya mengaku harus menyesuaikan diri menghadapi keterbatasan seperti kendala transportasi, informasi, listrik, dan air. Bagi putri ke-10 dari sebelas bersaudara ini, menjadi pengajar di perbatasan adalah salah satu bentuk pengabdian kepada negara serta ibadah kepada Yang Maha Kuasa.

Arif Subekti,

Dosen Sejarah FIS-UM,

Anggota Tim Penelitian PNBP 2019 di Sebatik