Perspektif Geografi dalam Kajian Kualitas Hidup Lansia
Bagikan:
Bagikan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh, salam sejahtera, syalom, Om swastyastu, namo budaya, salam kebajikan, Rahayu, Hong Ulun Basuki Langgeng
Lansia atau lanjut usia merupakan istilah untuk kelompok penduduk yang berusia tua di Indonesia. Kelompok penduduk tua ini di Jawa disebut “ Tyang Sepuh” , di Bali disebut “ Nak Lingsir”, Senior Citizen di Negara-negara Barat, sedangkan di Malaysia disebut Warga Emas. Penyebutan itu semua untuk menggambarkan tentang proses kehidupan manusia yang sudah melewati batas tengah. Ibarat matahari yang sudah melewati titik Nadir atau dalam bahasa daerah sudah menuju ke arah barat “ ngulon” (Kulon, Barat dalam bahasa Jawa) dan “lingsir” (dalam bahasa Bali) untuk menuju ke sandya kala alam sunnya.
Lansia merupakan penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih, atau 65 tahun ke atas. Negara maju dan Lembaga-lembaga internasional, seperti PBB, menggunakan batasan umur lansia adalah 65 tahun ke atas. Kategori lansia di Negara Berkembang, seperti di Asia Tenggara menggunakan ukuran umur 60 tahun ke atas (Pala, 2005, Astina, 2014, Ismail, et.al, 2021). Indonesia menggunakan batas umur lansia 60 tahun ke atas berdasarkan Undang-Undang No.13 tahun 1998.
Jumlah lansia yang semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh Dunia. Jumlah penduduk kategori lansia dunia yang berumur 65 tahun dan lebih pada tahun 1950 sebanyak 127,8 juta (5,1 % dari jumlah penghuni Bumi). Jumlah lansia ini kemudian meningkat menjadi 424.5 juta (6.8 persen) pada tahun 2000 dan pada tahun 2010 menjadi 493,9 juta (7,9 %). Jumlah lansia ini meningkat menjadi 828.2 juta (9.7 persen) pada tahun 2025 (United Nations, 1991, 2011, Ibrahim, et.al 2022). Dalam sejarah geografi dan demografi, bahwa prosentase lansia sebesar itu belum pernah dialami penduduk dunia. Oleh karena itu Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa abad ke-21 ini sebagai abad penuaan penduduk atau ageing population (Mujahid, 2006, United Nations, 2011).
Peningkatan penduduk lansia di negara maju sudah terjadi sejak tahun 1950-an, sedangkan peningkatan di negara berkembang akan terjadi secara keseluruhannya pada 2025 (Mujahid, 2006). Diproyeksikan bahwa penduduk dunia mengalami penuaan secara keseluruhan pada tahun 2025. Jumlah dan prosentase penduduk lansia berbeda-beda di pelbagai negara. Ada negara yang mempunyai jumlah dan prosentase lansia yang sudah besar, sementara negara-negara terutama di Afrika, jumlah dan prosentasenya lansia masih kecil.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Menurut sensus tahun 2000 jumlah penduduk 201. 241.999 orang, sedangkan pada sensus penduduk 2010 sebanyak 237.641.326 orang dan sensus 2020, meningkat menjadi 270.203.917. Prosentase penduduk kategori lansia juga mengalami peningkatan dari 7,18 tahun 2000, meningkat menjadi 7,60 % pada sensus 2010 meningkat menjadi 10,70 % pada sensus 2020 dan pada 2025 diperkirakan sebesar 12,50 % (BPS, 2002; BPS, 2011; BPS 2021).
Pulau Jawa dengan luas 138 793 km2 atau 6.9 persen dari luas seluruh Indonesia. Pulau ini dihuni oleh 151,6 juta penduduk (56,10 %) atau separuh lebih jumlah penduduk (BPS 2021). Permasalahan utama penduduk adalah jumlahnya yang besar (urutan 4 Dunia) dan distribusi penduduk yang tidak proporsional antara Jawa dan luar Jawa Permasalahan ini kemudian menimbulkan pelbagai masalah kependudukan lainnya (Mantra, 2015).
Jawa Timur salah satu provinsi dengan jumlah penduduk kedua tertinggi di Indonesia setelah provinsi Jawa Barat (48.274.162). Jumlah penduduk Jawa Timur pada Sensus 2020 sebanyak 40.665.696. Penduduk Jawa Timur yang termasuk dalam kategori lansia sebanyak 5.314.698 orang (13,07 %). Wilayah kabupaten dengan prosentase lansia tertinggi yaitu Pacitan (20,25 %) sedangkan terendah adalah Sidoarjo (8,19 %). Untuk wilayah kota, yang tertinggi Madiun (14,74 %) dan terendah Surabaya (9,16 %). Untuk wilayah Malang Raya secara berurutan yaitu Kabupaten Malang (14,20 %), Kota Batu (12,43 %) dan Kota Malang 11,04 % (BPS Jatim, 2015, bps.go.id, SP 2020). Berdasarkan prosentase lansia, maka Jawa Timur sudah mengalami proses penuaan penduduk (ageing population). Permasalahan lansia semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlahnya. Lansia mengalami degeneratif yaitu penurunan fungsi organ tubuh karena usia, yang berimplikasi pada tingkat kesehatannya (Hardywinoto dan Tony, 2005). Pada sisi lain lansia mengalami penurunan ekonomi karena menurunnya kegiatan atau memasuki masa pensiun.
Penuaan Penduduk, Penduduk Tua dan Transisi Demografi
Penuaan penduduk dan penduduk umur tua atau lansia merupakan dua konsep yang berbeda. Penuaan penduduk merujuk kepada pertambahan jumlah dan prosentase penduduk kelompok kategori umur 60 tahun ke atas atau lansia dan penurunan jumlah dan prosentase kategori penduduk atau cohort 0 – 4 tahun di suatu wilayah atau negara (Ibrahim, 1999, Mujahid (2006; Astina, 2014).
Peningkatan jumlah penduduk yang termasuk dalam kategori umur lansia ini disebabkan oleh angka harapan hidup sejak lahir yang semakin panjang dan penurunan angka kelahiran. Penurunan kelahiran dan peningkatan usia harapan hidup menimbulkan dampak terhadap struktur penduduk yaitu kelompok penduduk dalam kelompok umur tua meningkat sedangkan kelompok umur pada cohort balita mengalami penurunan (Kalache, Barreto dan Keller, 2005 Mantra, 2015).
Konsep penduduk tua atau lansia, merujuk kepada orang yang hidupnya sudah lama, berumur panjang atau tidak muda lagi. Ada orang yang sudah berumur tua namun penampilannya masih seperti orang muda atau sebaliknya ada orang yang berumur 40 tahun namun keadaan fisiknya seperti orang yang sangat tua. Masyarakat Indonesia juga menggolongkan beberapa tahapan dalam kehidupan manusia. Salah satunya seperti di Bali yaitu dikenal dengan Catur Ashrama yaitu masa Brahmacarya (masa menuntut ilmu), Grhasta (masa Berumah tangga) dan Wanaprastha (menjauhkan diri dari keduniawian, pensiun) dan Bhiksuka (bertapa, lepas dari ikatan duniawi). Dua tahap yang terakhir ini yang masuk dalam tahapan lansia (Subrata, 2019).
Penuaan dapat dianalisis melalui empat proses (1) Secara kronologis yang mendefinisikan lansia berdasarkan perhitungan umur dari sejak seseorang dilahirkan (2) Penuaan secara biologis merujuk kepada perubahan tubuh secara fisik, penurunan kemampuan sistem organ tubuh yang disebabkan oleh sel-sel yang menua dan mengalami kerusakan (3) Penuaan secara psikologis yaitu yang disebabkan adanya perubahan dalam sistem indria, fungsi-fungsi mental individu. (4) Penuaan secara sosial yaitu perubahan peran dan hubungan individu dalam struktur sosial kemasyarakatannya. Pendekatan yang paling mudah untuk menentukan lansia berdasarkan pendekatan umur kronologis.
Biro Sensus PBB mengelompokan lansia dalam tiga kelompok, yaitu: (1) the young old (65 – 74 t), (2) the aged (75 – 84), dan (3) the oldest old (85 tahun dan lebih) (Lassey dan Lassey, 2001). Penggolongan umur untuk lansia ini diperpanjang lagi karena rentangan usia lansia semakin lama semakin meningkat. Menurut Ibrahim (1999) lansia yaitu (1) young-old (tua awal, 55 – 64, (2) Middle-Old (tua pertengahan 65 – 74) (3) Old-Old (sangat tua, 75 – 84) (4) Oldest-Old, tua bangka (Malaysia), tua renta (Indonesia) 85 tahun dan lebih.
Lansia dalam kategori the oldest old mempunyai harapan hidup yang masih panjang lagi bahkan bisa hidup lebih dari 100 tahun (Healy, 2003). Oleh karena itu, golongan lansia ini dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, (1) Octogenarians yang (80 – 89), (2) Nonageneraians (90 – 99), dan (3) Centenarians 100 tahun dan lebih. Jepang merupakan Negara yang memiliki jumlah penduduk centenarian tertinggi di dunia. Pada tahun 2018, sebanyak 69.785 orang dengan 88,0 % adalah perempuan dan meningkat lagi menjadi 80.450 orang (88,2 % perempuan) tahun 2020 (Suyono, 2020). Masa tua dari umur 60 tahun ke atas inilah yang disebut era emas atau The Golden Age (Brownell dan Power, 2004).
Penurunan angka kelahiran dan peningkatan harapan hidup menyebabkan terjadinya peningkatan penduduk lansia Dari struktur umur yang tergambar dalam piramida penduduk, penuaan penduduk menyebabkan terjadinya perubahan pada dasar piramida penduduk yaitu 0-4 tahun Cohort pada bagian bawah 0-4 tahun tidak lagi melebar, melainkan mengecil, sedangkan cohort umur 60 tahun dan ke atas, sudah tidak meruncing melainkan mendekati bentuk parabola. Perubahan ini terlihat pada bentuk piramida penduduk menurut sensus Penduduk tahun 2000, 2010 dan 2020.
Proses penuan penduduk tergambar dalam transisi demografi, yaitu dari angka kelahiran dan angka kematian yang tinggi menuju kepada angka kematian dan angka kelahiran yang rendah. Pertama, suatu keadaan yang ditandai dengan angka kelahiran dan angka kematian yang tinggi, namun ada pertumbuhan yang kecil. Kedua, ditandai oleh menurunnya angka kematian terutama anak-anak karena kemajuan dalam pengobatan, kedokteran dan perbaikan gizi. Angka kelahiran masih tetap tinggi sehingga pertambahan penduduk masih cepat. Ketiga, ditandai dengan penurunan angka kelahiran dan angka kematian. Pertambahan penduduk mengalami penurunan. Jumlah penduduk yang tergolong lansia mengalami peningkatan. Keempat, ditandai dengan angka kelahiran dan angka kematian yang rendah. Ada pertambahan penduduk tetapi kecil. Struktur penduduknya adalah tua, yaitu jumlah penduduk golongan lansia banyak.
Gambar 1. Piramida Penduduk Indonesia Transisi Demografi
Permasalahan Lansia
Struktur Umur Penduduk
Dalam konsep Jawa, Lansia mengalami apa yang disebut sebagai sepuh, sepi dan sepah (Wibawa, 2013). Lansia merupakan golongan penduduk yang secara fisik mulai mengalami penurunan karena faktor usia (sepuh). Lansia mengalami hal yang disebut sebagai Emty-Ness Syndrome (Santrock, 2002, Bongyoga dan Widya R, 2021) Anak-anaknya meninggalkan rumah karena pendidikan, menikah atau bekerja yang mengharuskan mereka untuk tidak lagi tinggal bersamanya (sepi). Selanjutnya lansia merasa membesarkan anak sudah selesai dan merasa sudah tidak berguna (sepah).
Distribusi Geografis Lansia
Pada umumnya di negara berkembang, lapangan pekerjaan penduduk kebanyakan adalah di sektor agraris dan bertempat tinggal di kawasan perdesaan. Hal ini memungkinkan pula lansia lebih banyak tinggal di wilayah perdesaan Lansia yang tinggal di perdesaan di Indonesia tahun 2020 sebanyak 52,95 persen sedangkan lansia yang tinggal di kawasan perkotaan sebanyak 47,05 persen (Hugo, 1992; Hardywinoto dan Tony S, 2005, BPS, 2020). Kawasan perdesaan umumnya mempunyai fasilitas yang lebih sederhana atau sedikit dibandingkan kawasan perkotaan khususnya fasilitas yang berkaitan dengan lansia.
Harapan Hidup Lansia Perempuan
Harapan hidup adalah jumlah tahun bagi seseorang itu untuk dapat hidup, yang dihitung dari saat lahir hingga meninggal dunia. Angka harapan hidup laki-laki dan perempuan di Indonesia tahun 2010, yaitu 68 dan 72. Angka harapan ini pada tahun 2020 meningkat menjadi 70 untuk laki-laki dan 73 untuk perempuan (BPS, bps.go.id/indicator, 2022). Angka harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Kita lebih banyak melihat keberadaan nenek-nenek daripada kakek baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.
Jumlah Lansia Perempuan
Pada umumnya perempuan memilih pasangan yang cenderung lebih tua Keadaan ini memiliki resiko ditinggal terlebih dahulu oleh pasangannya yang lebih tua umurnya. Hal ini mengakibatkan jumlah lansia perempuan yang berstatus janda karena cerai kematian yang banyak (Kalache, Barreto dan Keller, 2005). Sebaliknya Lansia laki-laki yang ditinggalkan pasangannya karena kematian atau sebab-sebab lainnya lebih cenderung menikah lagi. Laki-laki 47,71 dan perempuan 52,29 % (BPS, 2020).
Penjagaan Lansia (Elderly Care)
Jumlah anak yang dimiliki penduduk pada saat ini lebih kecil bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Angka kelahiran (Crude Birth Rate) di Indonesia untuk periode 1970 – 1975 adalah sebesar 5,6, pada periode 2000 – 2005 menurun menjadi 2.4 dan tahun 2020 – 2025 menurun lagi menjadi 1,9 (United Nations, 2003; Noveria, 2006). Semakin kecil jumlah anak maka semakin berkurangnya anak yang berpotensi sebagai penjaga lansia. Adanya migrasi tenaga kerja terutama perempuan dari kawasan perdesaan menuju kota-kota dan kawasan industri, dan tenaga kerja ke luar negeri, juga menyebabkan semakin berkurangnya penjagaan terhadap lansia tua (Mujahid, 2006, Astina, 2014).
H i d u p S e n d i r i
Fenomena lansia untuk hidup sendiri, setelah berpisah dengan pasangannya walaupun mereka mempunyai anak terjadi di Negara maju. Lansia di negara berkembang lansia sendirian karena merupakan keterpaksaan dan tidak adanya pilihan lain. Ada kecenderungan hidup sendiri di negara berkembang sebagai suatu pilihan serta ada peningkatan terutama di kawasan perkotaan. Persentase warga tua di Indonesia yang tinggal sendirian ialah 7,3 persen pada tahun 1997 (Mujahid, 2006). Badan Pusat Statistik mencatat 9,38 persen lansia hidup sendiri pada tahun 2019 (BPS, 2019).
Fasilitas Untuk Lansia
Fasilitas umum untuk lansia masih sangat kurang, pada sisi yang lain jumlah lansia yang semakin meningkat di semua wilayah. Lansia memerlukan pelbagai fasilitas yang tentunya berbeda dengan kelompok umur lainnya. Hal ini karena keterbatasan dan kemampuan fisik mereka memerlukan fasilitas khusus, seperti di prasarana dan sarana transportasi, pusat perbelanjaan, hotel, obyek wisata, bandara, taman atau ruang terbuka hijau dan lainnya. Infrastruktur fasilitas umum untuk lansia baru tersedia 20 % dari yang diperlukan (Suara.com, 3 Juli 2019).
Lansia, Gerontologi dan Geografi
Suatu perhatian yang meningkat terhadap proses penuaan dan penduduk lansia diberikan oleh satu disiplin ilmu yang relatif baru, dan mulai berkembang di beberapa negara, yaitu gerontologi. Gerontologi berarti “the study of ageing and the elderly” atau kajian tentang penuaan dan warga tua (Macionis, 2007).
Keterkaitan antara sains gerontologi dengan sains geografi, khususnya keterkaitan antara gerontologi sosial dengan geografi manusia ialah kedua sains memiliki objek material yang sama yaitu manusia (masyarakat). Geografi sosial dengan objek material (ontology) adalah manusia/masyarakat dalam konteks keruangannya, sedangkan gerontologi sosial pula objek materialnya adalah manusia dalam kategori penduduk lansia umur 60 tahun ke atas, dalam konteks kehidupan sosialnya. Kedua-dua sains ini mengkaji manusia/masyarakat dalam konteks lingkungan, namun masing-masing dengan metoda pendekatan (epistemology) atau obyek formal berbeda. (Hagget, 2001, Muehlenhaus, 2019).
Metode pendekatan pada geografi sosial sama ada dengan pendekatan geografi secara umum. Pendekatan tersebut terdiri dari pendekatan keruangan (spatial), ekologi dan wilayah atau regional (Haggett, 2001). Aplikasi pendekatan ini dalam mengkaji permasalahan sebagai satu kesatuan yang utuh (unifying concept) Pertama, yaitu keadaan lansia ditinjau dari aspek ruang dan sebaran keruangannya. Suatu tempat atau ruang wilayah memberikan gambaran latar belakang geografi secara fisik dan lingkungannya dari pelbagai permasalahan lansia. Kedua, ialah permasalahan lansia selalu terkait dengan pelbagai aspek, baik aspek fisik, aspek sosial, ekonomi dan budaya. Ketiga, ialah gabungan sebaran keruangan dengan keterkaitan pelbagai aspek sebagai satu karakteristik permasalahan lansia dalam suatu wilayah (region). Permasalahan lansia yang ada di suatu wilayah akan berbeda karakteristiknya dengan wilayah lain (Bonnett 2008). Salah satu permasalahan lansia berkaitan dengan ruang dan lingkungan hidup lansia adalah terkait dengan kualitas hidupnya
Kualitas Hidup Lansia Dalam Perspektif Geografi
Kualitas hidup (dalam bahasa Inggris) dapat dirujuk sebagai kepuasan hidup (life satisfaction), kepuasan umum (general satisfaction), kesejahteraan (well-being) dan kepuasan psikologis (psychological satisfaction). Ukuran kualitas hidup tidak sama antara individu dengan individu yang lain serta antara daerah satu dengan daerah yang lain (geografis). Beberapa kawasan menyebutkan keuangan sebagai faktor yang penting, sementara kawasan lainnya memakai kesejahteraan psikologi atau fungsi pengetahuan, atau status kesehatan sebagai ukurannya. Kualitas hidup antara kelompok umur penduduk juga berbeda dalam ukuran kualitas hidup. Pada awal umur antara 65 – 75 tahun faktor jaminan keuangan dan kesejahteraan sosial merupakan faktor yang utama. Untuk umur 75 tahun dan lebih maka kualitas hidupnya lebih tertumpu pada aspek kesehatan sebagai aspek yang lebih penting (Lassey dan Lassey, 2001).
Kualitas hidup lansia untuk masing-masing wilayah memiliki karakteristik tersendiri sehingga berbeda antara satu dengan lainnya (areal differentiation). Perbedaan tersebut meliputi perbedaan fisik geografis dan sosial, ekonomi dan budaya (Bjelland, et.al, 2020). Ukuran dari kualitas hidup (lansia) berbeda antara satu wilayah (region) dengan wilayah lain. Suatu wilayah dengan memiliki persamaan-persamaan sehingga menunjukan karakteristik tersendiri, sehingga dapat dibedakan dengan wilayah atau region lainnya (Finlayson, 2016). Kualitas hidup juga dapat diukur dengan indikator yang bersifat subjektif yaitu persepsi dari individu tentang kualitas hidupnya dan penunjuk psikososial.
Kualitas Hidup Lansia (Kajian di Kota Batu, Jawa Timur)
Kota Batu, merupakan wilayah kota di Jawa Timur nomor tiga tertinggi prosentase lansia setelah kota Madiun dan Blitar. Wilayah Kota Batu memiliki kenampakan geografis yang lebih banyak dicirikan oleh suasana perdesaan. Kota Batu terdiri dari tiga wilayah kecamatan yaitu Batu, Bumiaji dan Junrejo. Desa dengan prosentase lansia tertinggi pada masing-masing kecamatan sebagai sampel ditentukan secara purposive. Desa tersebut yaitu Sumberrejo, Gunungsari dan Mojorejo. Pengambilan sampel dilakukan secara proporsional dan penentuan responden dilakukan secara random. Jumlah responden pada kajian ini 322 lansia, terdiri 106 (32,9 %) laki-laki dan 216 (67,1 %) perempuan. Umur terendah 60 tahun dan tertinggi 97 tahun. Lansia yang hidup sendirian 26 orang (8,1 %), dan 296 orang (91.9 %) hidup bersama anggota keluarga
Untuk mengukur kualitas hidup lansia maka digunakan indikator obyektif yaitu pendapatan, perbelanjaan, keadaan tempat tinggal dan kesehatan, sedangkan dan indikator subyektif merupakan tanggapan terhadap indikator obyektif, ditambah dengan tanggapan kualitas hidup lansia secara umum.
Indikator Objektif Kualitas Hidup Lansia
Dari 322 lansia dalam kajian ini, terdapat 179 orang (55,6 %), yang masih bekerja dan yang tidak bekerja sebanyak 143 orang ( 44,4 %). Sebagian besar lansia mempunyai pendapatan yang sangat kecil yaitu kurang dari 500 000 rupiah. Hal ini karena mereka kebanyakan hidup bersama dalam satu rumah dengan dengan anggota keluarga (pasangan, anak, menantu dan cucu) sehingga keperluan hidup disumbang dari anggota keluarga. Menurut adat Jawa bahwa lansia berhak mendapatkan penghormatan yang tinggi, termasuk sumbangan instrumental (umumnya berupa uang dan barang), terutama dari anggota keluarga (Geertz, 1983 dalam Astina, 2014; Astina dkk 2021). Hal ini didukung pula oleh solidaritas yang bersifat mekanik, dengan nilai, adat istiadat dan kepercayaan dalam ikatan kolektif kawasan perdesaan (Henslin, 2005). Perbelanjaan lansia dalam sebulan kebanyakan untuk keperluan makanan yaitu 229 orang (71,1 %), bahan makanan dan pengobatan 51 (15,8 %) bahan makanan, pengobatan dan pakaian 26 orang (8,1 %). Hanya 16 (5,0 %) yang membelanjakan pendapatan untuk keperluan makanan, pengobatan, sandang/pakaian, barang simpanan serta untuk keperluan rekreasi.
Rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dalam melangsungkan kehidupannya. Keberadaan rumah memberikan rasa aman dari gangguan yang bersifat alami, seperti kehujanan, kepanasan maupun kedinginan. Di samping itu rumah juga dianggap sebagai penentu status sosial ekonomi seseorang (Smith, 1980 dikutip dari Astina, 2014; Astina dan Ibrahim, 2017).
Secara umum kualitas rumah yang ditempati lansia di daerah kajian adalah baik. Kualitas rumah warga tua yang termasuk dalam kategori baik 232 (72,0 %), hanya 2,2 % yang berkategori buruk. Permasalahan rumah lansia di daerah kajian ialah masih terdapat rumah dengan lantai tanah sebanyak 17 rumah (5,3 %), dinding rumah yang masih terbuat dari anyaman bambu tujuh rumah (2,2 %), fasilitas MCK yang masih menggunakan air sungai 13 orang (4,0 %) dan air untuk keperluan rumah tangga, ada yang masih menggunakan air dari sumber atau mata air yang ada di dekat sungai 12 orang (3,7 %). Hal ini tentu kurang baik dari segi kesehatan terutama untuk para lansia (Bahrudin, 2010; Dinkes Kota Batu, 2010).
Kesehatan lansia merupakan salah satu indikator dalam kualitas hidup lansia. Tingkat kesehatan dalam kajian ini diukur melalui jumlah penyakit yang dialami oleh lansia berdasarkan pengakuan (self rated health) dan intensitas untuk berobat ke tempat-tempat pengobatan, seperti rumah sakit, tempat praktik dokter, Puskesmas, tempat praktik perawat/mantri, dalam waktu tiga bulan terakhir. Tingkat kesehatan lansia di daerah kajian dalam kategori sangat baik atau sangat tinggi. Sebanyak 202 orang ( 62,7 %) Kategori sangat rendah dan rendah 28 lansia (8,7 %). Terdapat 20 jenis penyakit yang dialami para lansia serta semuanya merupakan penyakit degeneratif atau penurunan kemampuan organ tubuh karena proses penuaan (Takasihaeng, 2000; Hardi W dan Tony S, 2005; Aizan, dkk, 2006).
Lansia di desa umumnya sehat, karena mereka terus aktif melakukan pelbagai kegiatan. Lansia pada umumnya tidak mau disebut sakit, jika masih dapat melakukan aktivitas, meskipun secara medis sakit. Apabila mengalami sakit maka Ia berusaha mencari obat-obat alami yang ada dilingkungan berupa tumbuh-tumbuhan obat atau yang sudah dalam bentuk olahan (jamu). Sakit apabila mereka tidak dapat melakukan tugas sehari-hari secara optimal atau tidak berdaya sehingga harus berada di tempat tidur (Sarwono, 2004). Selama lansia masih mampu melaksanakan fungsinya seperti biasa maka dikatakan sehat.
Indikator Subjektif Kualitas Hidup Lansia
Dalam kajian ini tingkat kualitas hidup diukur dengan menanyakan tanggapan lansia terhadap kehidupan mereka. Tanggapan ini berkaitan dengan kepuasan terhadap pendapatan, perbelanjaan, pemilikan barang, keadaan perumahan dan tingkat kesehatan. Tanggapan ini masing-masing dua pernyataan serta ditambah satu lagi tentang kepuasan secara keseluruhan. Tanggapan kepuasan tersebut diukur dengan skala model Likert empat poin, dengan skor terendah 18 dan tertinggi 42.
Kepuasan warga tua yang tertinggi yaitu kepuasan terhadap keadaan dan kenyamanan rumah yang ditempatinya (3,5). Hal ini karena sebagian besar warga tua memiliki rumah sendiri iaitu sebanyak 276 orang (85,7 persen). Rumah merupakan keperluan dasar yang harus dipenuhi karena merupakan tempat untuk berlindung di samping itu rumah juga mencerminkan status sosial ekonomi seseorang (Kuswartojo, dkk, 2005). Rumah merupakan faktor yang sangat penting dalam well-being bagi individu sebab rumah merupakan kebutuhan yang spesial (Peck C dan Kay Stewart, 2009). Letak rumah yang berdekatan tentunya memberikan rasa aman kepada penghuninya karena mereka bisa saling mengawasi antara satu dengan lainnya. Pengawasan terhadap keamanan lingkungan secara bersama-sama memungkinkan keamanan yang baik. Suasana ”guyub” (rukun) selalu dipertahankan dalam setiap satuan permukiman dalam adat istiadat orang Jawa. Hal ini dapat meningkatkan solidaritas antar tetangga dalam menciptakan suasana yang aman, tertib dan damai (Widyawati, 2010).
Tingkat Kualitas Hidup Lansia Secara Umum
Rata-rata tingkat kualitas hidup lansia di daerah kajian termasuk dalam tingkat kualitas sedang 2,1. Sebanyak 225 (69,9 %) dalam tingkat kualitas hidup sedang. Lansia dalam tingkat kualitas hidup yang tinggi hanya 61 (18,9 %), sedangkan dalam tingkat kualitas hidup yang rendah sebanyak 36 ( 11,2 %).
Kehidupan masyarakat desa amat erat kaitannya dengan lingkungan alam yang masih terjaga. Lansia desa dalam adat istiadat Jawa memiliki pandangan hidup yang disebut ”nrimo” artinya pasrah menerima apa saja yang mereka dapatkan (Widyawati, 2010). Hal ini tentu pula dipakai untuk melihat keberadaan aspek material dalam kehidupan..
Kualitas Hidup Masing-Masing Desa
Kualitas hidup Lansia di masing-masing desa kajian secara umum mempunyai pola yang sama, tetapi dalam persentase yang sedikit berbeda. Kualitas hidup lansia desa ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel Kualitas Hidup Masing-Masing Desa
Desa | Kualitas Hidup | Jumlah | |||
Rendah | Sedang | Tinggi | Rerata | ||
Gunungsari Sumberrejo Mojorejo | 11 (10,7) 21 (17,1) 4 (4,2) | 57 (55,3) 90 (73,1) 78 (81,2) | 35 (34,0) 12 (9,8) 14 (14,6) | 2,2 1,9 2,1 | 103 (100) 123 (100) 96 (100) |
Jumlah | 36 (11,2) | 225 (69,9) | 61 (18,9) | 2,1 | 322 (100.) |
Dari ketiga desa kajian di atas maka desa Gunungsari mempunyai tingkatan kualitas hidup lansia yang paling tinggi yaitu 2,2. Rata-rata umur lansia reponden di desa ini iaitu 73,3 tahun. Perbedaan kualitas ini dapat diterangkan berdasarkan kenampakan geografis. Gunungsarimerupakan desa subur penghasil sayuran dan bunga, utamanya bunga mawar. Hasil bunga dan sayuran ini dikirim ke pelbagai kota besar di pulau Jawa, bahkan ke luar Jawa. Aktivitas pertanian di desa ini khususnya pertanian bunga memungkinkan lebih banyak dalam menyerap tenaga kerja lansia. Jarak desa Gunungsari ke kota Batu sejauh lima kilometer, merupakan jarak yang paling jauh apabila dibandingkan dua desa lainnya.. Keadaan fisik geografis yang masih asri dan terjaga dengan baik. Pola permukiman di desa ini umumnya mengelompok (cluster) yang mendukung untuk hidup berdekatan, rukun dan saling tolong-menolong serta solidaritas di antara penduduk sangat baik.
Desa Mojorejo terletak di sebelah timur dari daerah Kota Batu dengan jarak dua kilometer dan berbatasan dengan Kabupaten Malang. Desa ini dilewati oleh jalan raya yang menghubungkan Kota Batu dengan Kota Malang, sehingga aksesibilitas menuju ke dua kota ini lebih baik. Lingkungan alam sudah mulai berubah, karena pembangunan perumahan yang berkembang baik dari arah kota Batu maupun kota Malang. Hasil pertanian utama desa ini umumnya padi dan palawija. Di desa ini berkembang industri rumah tangga yaitu pengolahan bahan makanan, perdagangan serta pelayanan jasa. Keadaan kehidupan di desa ini ialah ”semi urban”. Secara umum serapan tenaga kerja lansia di desa ini lebih kecil dari desa Gunungsari. Hal ini karena lansia bersaing dengan tenaga kerja yang lebih muda umurnya serta dengan keterampilan (skill) yang tinggi pula (Salladien, 2009). Rata-rata umur warga tua responden di desa ini iaitu 68,8 tahun.
Desa Sumberrejo, merupakan desa di tepian kota Batu yang terpisah oleh sungai Brantas. Secara administratif desa ini termasuk dalam wilayah kecamatan Batu. Keadaan permukiman di desa ini lebih padat serta dengan pola permukiman seperti kota. Keadaan kehidupan penduduk desa dalam kategori ”semi urban”. Boleh dikatakan bahawa desa ini berwajah morfologi kota namun lingkungannya masih suasana perdesaan, lingkungan alam yang sudah banyak mengalami perubahan, terutama alih fungsi lahan dari pertanian ke villa dan permukiman. Jarak ke kota dari desa ini iaitu satu hingga dua kilo meter merupakan jarak yang paling dekat ke kota Batu. Desa ini juga merupakan desa pertanian yang umumnya menghasilkan bahan pangan (padi, jagung, ketela) dan sayuran. Aktivitas penduduk disamping dalam bidang pertanian juga berkembang kepada industri kraf (kerajinan) dari bambu untuk wadah sayuran dan buah yang dijual di pasar. Serapan tenaga kerja lansia dalam bidang pertanian ialah sedikit atau rendah, karena desa ini merupakan desa pertanian yang intensif yang memerlukan tenaga kerja yang lebih muda dan aktivitas kerja dari segi fisik yang lebih berat. Rata-rata umur warga tua responden di desa ini iaitu 66,6 tahun.
Kualitas Hidup Berdasarkan Jenis kelamin
Jumlah responden Lansia perempuan dalam kajian ini 216 orang (67,1 %), sedangkan laki-laki 106 orang (32,.9 %). Rata-rata tahap kualitas hidup lansia perempuan ialah 2,05, sedangkan laki-laki pula 2,15. Kualitas hidup lansia perempuan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan warga tua laki-laki. Perbedaan kualitas hidupnya hanya 0.09. Kajian Shin, et.al. 1983, dalam Astina 2014, Astina, dkk, 2015) bahwa jenis kelamin tidak signifikan berasosiasi dengan kualitas hidup lansia.
Dari 15 variabel yang diajukan, maka terdapat sembilan variabel yang signifikan yaitu yaitu umur lansia, status perkawinan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, status pekerjaan, luas tanah, partisipasi organisasi, aktivitas rekreasi dan dukungan instrumental. Melalui analisis regresi, terdapat tiga variabel signifikan yaitu aktivitas rekreasi yang paling tinggi pengaruhnya terhadap kualitas hidup lansia, diikuti oleh variabel sumbangan instrumental dan jumlah tanggungan.
Aktivitas Rekreasi
Rekreasi merupakan salah satu keperluan manusia yang menggunakan waktu luang pada saat off work. Keperluan rekreasi semakin meningkat seiring dengan perkembangan sosial ekonomi dan teknologi. Kemajuan ekonomi dan perkembangan teknologi dalam bidang pengangkutan mendorong mobilitas semakin tinggi (Astina, 2021). Lansia pada umumnya mempunyai waktu luang yang semakin banyak karena waktu untuk mencari nafkah mulai berkurang seiring dengan masa pensiun atau berkurangnya kemampuan fisik. Lansia secara individu dan kelompok suka melibatkan diri dalam aktivitas rekreasi karena mereka dapat bersama lansia lain yang sebaya (Astina, 2014).
Aktivitas rekreasi yang dilakukan oleh lansia dalam rangka memanfaatkan waktu luang pada masa mereka tidak melakukan kegiatan utamanya. Berdasarkan ruang geografisnya maka rekreasi ini dimulai dari rumah, kemudian di sekitar rumah, areal lokal sampai regional. Aktivitas rekreasi ini meliputi aktivitas di dalam rumah (home based recreation) seperti menonton TV, membaca surat kabar atau majalah/buku, menjahit, menyulam dan melukis, berkebun di sekitar rumah, memelihara hewan kesayangan, (daily leisure), seperti makan dan minum di warung, menonton pertunjukkan luar rumah, berolahraga di luar rumah, bermain dengan cucu, (day trip) seperti mengunjungi sanak, cucu, saudara dan famili, piknik dan (tourism) melakukan wisata (Sujali, 1989 dalam Astina, 2014 ).
Wawancara dengan beberapa lansia didapati mereka biasa menonton TV mulai selepas maghrib hingga menjelang tidur. Bagi lansia yang memiliki halaman rumah yang agak luas melakukan aktivitas berkebun. Aktivitas berkebun, seperti bunga, sayur dan apel, di halaman rumah disamping sebagai hiburan bisa juga dijual dijual. Aktivitas pemeliharan hewan, umumnya ayam dan burung. Wawancara dengan Pak M (73 tahun) menyatakan dalam tradisi Jawa pemeliharaan burung khususnya burung perkutut bahagi lelaki lansia merupakan pelengkap dalam kehidupan yang disebut ”Kukila” (Jawa). Mendengar suara burung mereka merasa dekat dengan alam dan memberikan ketenangan dan kedamaian hidup (Krjogja.com, 28 Juli 2022).
Mengunjungi anak, menantu, cucu, saudara dan famili merupakan aktivitas rekreasi di luar rumah dengan prosentase yang paling tinggi. Menurut mereka ada perasaan rindu kepada famili yang terpisah tempat tinggal untuk berjumpa cucu dan sesama lansia. Adanya kemajuan sarana transportasi, semakin memudahkan penduduk desa melakukan perjalanan menuju ke kota ataupun ke desa lain (Pahmi, 2010).
Aktivitas rekreasi dapat memberikan kepuasan psikologis dan sosial kepada lansia (Pitana dan Gayatri, 2005). Waktu luang untuk rekreasi mempunyai makna yang semakin penting sebagai bagian dari nilai tambah kerja dan produktivitas dan kualitas hidup dalam konteks multikultural dan internasional (Iwasuka, 2007; Partini, 2010). Aktivitas rekreasi bagi lansia untuk meningkatkan kegembiraan sekaligus kesehatannya. Lansia yang sehat adalah lansia yang selalu aktif dalam kehidupannya. Kebutuhan lansia untuk kegiatan rekreasi pada obyek wisata perlu didukung fasilitas yang ramah terhadap lansia, di samping memenuhi persyaratan bersih, sehat, aman dan berkelanjutan (cleanliness, health, safety and environment/CHSE).
Prof. Drs. I Komang Astina, M.S., Ph.D