image_pdf

Selasa, 21 November 2023, berlangsung konferensi pers The 12th Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) di CritaSena Cafe, Jl. Kahuripan No.1, Klojen, Malang. Acara ini sebagai tanda adanya perpindahan lokasi festival yang sebelumnya selama 11 tahun selalu diadakan di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Kini acara festival budaya tersebut akan diselenggarakan di Malang tepatnya di Universitas Negeri Malang (UM) pada tanggal 23-27 November 2023.

Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UM, Dr. Daya Negri Wijaya, S.Pd., M.A.  yang juga merupakan tuan rumah dalam konferensi ini, menyampaikan tujuan utama diadakan festival kebudayaan ini adalah untuk memajukan kebudayaan yang merupakan sebuah simbol sinergi dan kolaborasi dari berbagai pihak yang tertarik terhadap warisan dan kekayaan budaya Indonesia.

“Misi dalam memajukan kebudayaan Indonesia sangat diperlukan sinergi dan kolaborasi, karena kalau kita jalan sendiri kita tidak akan bisa sebab banyaknya kebudayaan yang ada di Indonesia, sehingga sinergi dari berbagai pihak dan stakeholder harus digalakkan. Terutama dalam bidang perlindungan, pengembangan, pemanfaatan budaya harus bersinergi. Termasuk dalam penyelenggaraan festival budaya ini, UM menjalin kolaborasi dengan komunitas BWCF,” ungkap Dr.Daya

Kota Malang patut berbangga atas penyelenggaraan festival budaya yang berskala Internasional ini , pasalnya Malang memiliki kekayaan budaya yang mampu membuka peluang baru untuk perayaan festival kebudayaan BWCF di luar Borobudur. Terlebih di UM juga terdapat beberapa para pakar pakar terkemuka dalam bidang sejarah dan budaya di UM yang menandakan kekayaan ilmu dan pengalaman di kampus tersebut.

“BWCF telah menggelar kegiatan ini selama 12 tahun, dengan 11 tahun sebelumnya diadakan di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Tahun ke-12, mereka memilih di Malang sebab kebudayaan di Malang yang kuat dan diakui sebagai rujukan dalam bidang sejarah budaya, apalagi dengan kehadiran para pakar di UM seperti Prof. Hariyono (pakar sejarah), Pak Ismail Lutfi (pakar epigrafi), Pak Deni (pakar arkeologi), dan Pak Joko Saryono (pakar sastra Indonesia) yang mampu menarik perhatian pihak lain termasuk BWCF,” terangnya

Memajukan Budaya Tanpa Bergantung Kepada Orang Asing

Berbagi pemikiran dan gagasan dan bentuk forum diskusi lainnya dengan para pakar seni budaya dan sejarah diluar wilayah Borobudur, Magelang merupakan sebuah langkah untuk memaksimalkan pelestarian kebudayaan Indonesia, sebab jika hanya terpusat di Magelang yang tidak disebarluaskan ke daerah lain, maka daerah lain tidak akan mengerti strategi dalam memajukan kebudayaan setempat. Malang menjadi tempat setelah Magelang untuk penyelenggaraan festival Borobudur, sehingga hal ini merupakan upaya untuk memajukan budaya di Malang. “Impian kami dengan festival budaya itu Malang menjadi barometer kebudayaan itu sendiri yang dipioneri oleh UM,” ujar Dr. Daya.

Selain itu, Dr. Daya juga menegaskan bahwa melestarikan budaya Indonesia ini merupakan tugas kita sebagai warga masyarakat Indonesia bukan warga asing. Selama ini warga negara Indonesia tergerak untuk melestarikan budaya apabila terlebih dahulu adanya gerakan yang dilakukan oleh orang asing, hal tersebut merupakan tindakan yang keliru yang bahkan memperlihatkan kepada orang-orang asing kita seperti tidak peduli terhadap budaya lokal.

“Sampai kapan kita berpaku pada orang asing untuk memajukan budaya kita, seharusnya kita sendiri yang memajukan sebab kita yang memiliki budaya, bukan kita menunggu orang asing untuk memajukan kebudayaan kita,” tegasnya.

Figur dan Pengaruh Pemikiran Bu Edi dalam Dunia Pendidikan

Pemilihan Bu Edi sebagai tokoh seni kebudayaan dalam festival ini juga menjadi sorotan. Bu Edi diakui sebagai maestro dalam bidang seni kebudayaan, arkeologi, dan tari. Keberadaannya di Malang, di mana UM memiliki kekhasan dalam bidang sejarah budaya, membuatnya menjadi figur yang tepat sebagai ikon seni kebudayaan. Prestasinya sebagai mantan Dirjen Kebudayaan dan kontribusinya dalam bidang kebudayaan, arkeologi, dan tari membuatnya menjadi pilihan yang tepat untuk dijadikan tokoh sentral dalam festival ini. Pemilihan Bu Edi juga didasarkan pada visi dan misi UM yakni menjadi rujukan bidang kependidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan humaniora dimana salah satu langkahnya adalah memajukan kebudayaan Indonesia.

“Pemilihan Bu Edi sebagai figur acara festival budaya di Malang tepatnya di UM ini sangatlah tepat sebab dalam hal ini adanya kesesuaian terhadap potensi UM yang memiliki pakar dan bidang keilmuan seni, budaya, sejarah dan sastra,” terang Dr. Daya

Keilmuan dan kepakaran bu Edi memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap dunia pendidikan, dimana karya-karya beliau menjadi rujukan utama bagi para akademisi baik tingkat sekolah maupun perguruan tinggi. Kontribusi dari pemikiran beliau yakni membentuk mata pelajaran seni pada jenjang SD hingga SMA yang saat ini menjadi muatan lokal menunjukkan bahwa pemikiran Bu Edi menjadi pendorong utama dalam pembentukan karakter bangsa melalui pendidikan. Buah pikir Bu Edi tersebut tidak hanya karya tulis yang dihasilkan melainkan juga menghasilkan pula murid-murid hebat di Indonesia yang  pakar dibidang seni kebudayaan.

“Murid bu edi sangat banyak tersebar di seluruh Indonesia bahkan dosen senior di UM itu murid beliau, contoh pak dwi cahyono pakar dibidang arkeolog, pak lutfi ismail pakar dalam bidang epigrafi, kemudian prof hariyono yang kini merupakan rektor UM pakar dibidang sejarah kebudayaan,”ujar dosen pakar sejarah dan kebudayaan ini.

Citra dan Impian UM sebagai Pusat Kebudayaan Berskala Dunia Global

Sebagai tuan rumah, UM juga mendapatkan manfaat dari festival ini. Pertama, dapat menjadi sarana promosi yang efektif hingga meningkatkan citra UM di mata masyarakat luas. Kedua, kolaborasi dengan komunitas besar seperti BWCF yang berskala internasional mampu membuka peluang bagi UM untuk menjadi pusat kebudayaan di Indonesia bahkan dunia secara global.

Kolaborasi yang telah dijalin dengan BWCF ini mampu membuka peluang bagi pihak lain untuk mengajak UM bekerja sama, seperti Pahmi yang merupakan konferensi kebudayaan antara Indonesia Malaysia yg diinisiasi Malaya University di Kuala Lumpur, hingga konferensi orang pinggiran dengan BRIN dan CCFS UB. Hal ini menjadi bentuk promosi dan reputasi UM sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya unggul dalam bidang akademis, tetapi juga berkomitmen pada pelestarian budaya.

Pada konteks kerjasama antara UM dan BWCF, diharapkan bahwa MoU yang telah ditandatangani tidak hanya menjadi formalitas belaka, tetapi juga dapat membawa manfaat konkret dalam pengembangan kebudayaan dan literasi di masyarakat.

“Tentunya kerjasama yang dijalin ini tidak hanya dilihat dari perspektif penyelenggaraan acara tahun ini, tetapi juga sebagai langkah awal untuk membuka peluang lebih banyak kolaborasi di masa depan. Selain itu UM memiliki impian untuk menginisiasi hidup kembalinya IAHA (International Association of Historian Asia) yang sudah lama mati suri dan UM berkeinginan kuat untuk menjadi inisiator hidupnya asosiasi itu,” pungkas Dr. Daya.

Dengan demikian, konferensi pers ini menggambarkan tekad UM dan BWCF untuk terus berkolaborasi dalam memajukan kebudayaan Indonesia melalui festival seni dan sastra. Harapannya, sinergi ini tidak hanya menjadi kegiatan sekali waktu, tetapi juga menjadi langkah awal menuju pemahaman dan pelestarian kekayaan budaya Indonesia.

Pewarta: Muhammad Salmanudin Hafizh Shobirin – Humas UM