image_pdf
Pengunjung Kafe Pustaka UM menikmati Film The Bajau

Malang. Film dokumenter terbaru karya Watchdoc berjudul The Bajau mulai 11 Januari lalu diputar serentak di berbagai daerah di Indonesia, tidak terkecuali dilakukan di Kota Malang. Kamis malam (23/1) Universitas Negeri Malang (UM) pun mendapat kesempatan untuk melakukan nonton bareng (Nobar) film yang menceritakan kehidupan Suku Bajau di Sulawesi. Nobar yang dilakukan di Cafe Pustaka Perpustakaan UM ini pun semakin menarik karena dilanjutkan berdiskusi langsung dengan Asman, mahasiswa UM yang merupakan asli dari suku Bajau ini.

Film ini menampilkan sisi kearifan para warga suku Bajau yang hidup harmonis dengan laut. Suku yang terkenal tangguh dalam hal menyelam ini pun bisa berbaur dengan alam. Karena memang asal-usul mereka dari pengembara laut yang kehidupannya banyak dihabiskan ditengah laut. Sehingga baru akhir-akhir ini saja sebagian dari mereka memiliki rumah di daratan karena didorong oleh pemerintah untuk bermukim. Tak hanya itu, isu-isu lingkungan seperti keberadaan tambang yang merusak habitat laut di sekitar suku Bajau pun menjadi sorotan kritis dalam film ini. “Sebenarnya itu setengahnya saja yang dikisahkan dari kami,” ungkap Asman.

Para penikmat film The Bajau dari Lapak Diskusi berfoto bersama diakhir acara

Pria suku Bajo dari marga Yangking ini pun menerangkan memang kerusakan hayati di daerah mereka lambat laun sangat terasa. Terlebih dia masih ingat saat kecil dulu rumahnya di atas panggung di sekitar pulau sangat mudah untuk mencari ikan. Tinggal buang kail di lewat jendela rumah saja, ikan sudah menyambarnya. Namun setelah tambang masuk, ikan-ikan itupun sulit dicari dan harus ke tengah laut baru bisa mendapat ikan. “Ikan sudah kabur, rumput laut yang menjadi penghasilan kami pun juga tercemar tambang,” terang mahasiswa Pascasarjana jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia itu.

Tidak hanya itu, dalam kesempatan memantik diskusi itu, Asman pun menceritakan betapa uniknya masyarakat Bajau yang terbiasa hidup di laut. Terlebih dalam kemampuan menyelam, suku Bajau terkenal bisa menyelam lebih lama dibandingkan manusia pada umumnya. Dia pun menceritakan pamannya sendiri yang sudah terbiasa menyelam di kedalaman 10 hingga 30 kaki tanpa alat bantu pernafasan. “Paman saya biasa menyelam  10 hingga 13 menit tanpa alat bantu. Dan itu sudah terbiasa di masyarakat kami,” ungkap mahasiswa yang skripsinya tentang Bahasa Suku Bajau itu.

Asman pun juga menunjukkan penelitian bahwa memang secara fisik terbiasa melaut itu, masyarakat suku Bajau memiliki ukuran Limpa yang berbeda dengan ukuran manusia pada umumnya. Limpa warga suku Bajau terkenal lebih besar daripada yang lain sehingga bisa bertahan lebih lama di dalam air. “Kita memang tidak bisa jauh-jauh dengan laut. Seperti saat ini sudah 6 bulan saya di Malang tidak melihat laut. Rasanya rindu sekali ingin melihat laut,” tegas Asman sambil tertawa. 

Nama                   : Moh. Fikri Zulfikar

Mahasiswa : Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM)