Soal Fenomena Kerajaan Baru, Ini Penjelasan Dosen Sejarah UM
Bagikan:
Bagikan:
Malang. Sebelum isu Corona gempar, beberapa waktu lalu masyarakat juga dihebohkan dengan fenomena munculnya kerajaan-kerajaan baru di Indonesia. Mulai dari Kraton Agung Sejagat hingga Sunda Empire. Menanggapi fenomena itu, Selasa lalu (3/3) dilakukanlah gelar wicara yang diselenggarakan ivent buku Ngalam Book Fest di Pan Java, Dau, Kabupaten Malang. Dalam kesempatan ini Dosen Sejarah UM Ronal Ridhoi, S.Hum, M.A memberikan pandangannya terkait merebaknya kerajaan-kerajaan di era modern ini.
Bersama dengan dua pemateri lain Dony Arif Budiman pegiat Komunitas Tele Sejarah dan Bagus Ninar pelestasi dokumen lama, gelar wicara bertema “Dari Singasari Hingga Sunda Empire: Pentingnya Pelestarian Situs dan Dokumen Sejarah untuk Melawan Sesat Berpikir Historis” pun berjalan seru. Dalam kesempatan itu, Ronal menekankan bahwa di dalam diskusi sejarah memang tidak bisa terlepas dari sejarah sebagai ilmu dan sejarah sebagai hal yang fiksi. “Melihat fiksi sejarah, contoh kasus Sultan Agung yang dikabarkan salat Jumat di Makkah. Kalau melihat realitas simbolis dan realitas empiris, fenomena Sunda Empire ini adalah sejarah secara fiktif,” ungkap dosen muda ini.
Ketika para punggawa Sunda Empire menyebutkan bahwa mereka memiliki kekuasaan dan hak milik atas dunia, secara empiris dan realitas sangat diragukan. Menurut Ronal ketika ngomongin kerajaan, fenomena dan peristiwa sejarah harus didudukan sebagai ilmu. Kerja-kerja penelusuran dan pembuktian harus kuat melalui penulisan dan pengumpulan sumber hingga menkritisinya. “Karena sejarah itu bukan cocoklogi, tetapi berpikir historis atau runtut, hingga memikirkan dampaknya,” ungkap Ronal.
Ronal juga menerangkan untuk bisa memahami konteks sejarah agar tidak salah tafsir terlebih bagi masyarakat yang awam dengan ilmu sejarah, cara yang paling gampang adalah membaca. Baginya penting sekali membaca bagi seluruh manusia, apapun latar belakangnya. Menurutnya jika seseorang hanya melihat sejarah secara parsial, maka akan sulit memahami secara penuh terlebih sejarah itu hanya sebuah nukilan dari masa lalu. “Jadi kita harus tahu di masa lalu Sunda Empire itu seperti apa dengan cara membaca literatur-literatur yang ada. Namun masalahnya di zaman teknologi ini budaya membaca semakin berkurang,” ujarnya.
Sehingga dalam memahami fenomena kerajaan-kerajaan baru di Indonesia, tingkat membaca buku dan literatur lain sangat dibutuhkan agar bisa membedakan antara sejarah sebagai ilmu atau kah sejarah sebagai hal fiksi. Dengan membaca masyarakat tidak akan mudah terombang-ambingkan oleh informasi dan isu yang berkembang dan meragukan kebenarannya. “Kuncinya membaca,” tegas dosen UM ini.
Nama : Moh. Fikri Zulfikar
Mahasiswa : Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM)