image_pdf

Prof. Dr. Cipto Wardoyo, SE., M.Pd., M.Si., Ak., CA

Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)
Universitas Negeri Malang

Dunia pendidikan dituntut untuk mengikuti, dan bahkan melebihi perkembangan teknologi dan informasi. Bidang pendidikan memiliki tugas berat untuk menyiapkan generasi yang mampu merespon setiap perubahan terutama perkembangan teknologi dan informasi sesuai dengan bidang masing-masing; generasi yang  memiliki kompetensi dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Lebih dari itu lulusan pendidikan juga dituntut untuk memiliki keterampilan baru seperti kerja tim, pemikiran tingkat tinggi (critical thinking skills), tidak sekedar memiliki kemampuan untuk berpikir kritis tetapi juga memiliki pandangan secara filosofis tentang makna berfikir kritis;  kemampuan berpikir kreatif (creative thinking skills), memiliki kemampuan untuk menemukan dan menciptakan hal-hal baru yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah di dunia nyata;  dan kemampuan dalam menggunakan teknologi yang berkembang dengan pesat di era melenial saat ini 

Kajian mengenai profesionalisme berbeda satu negara dengan negara yang lain tergantung pada sudut pandang yang menjadi penekanannya. 1) Australia, terdapat tiga domain  digunakan, yaitu: pengetahuan profesional, praktik profesional, dan keterlibatan profesional;  2)Kanada, standar profesional pendidik menggunakan tiga standar, yaitu: standar etika profesi guru, standar praktik profesi guru, dan kerangka pembelajaran profesional profesi pendidik. 3) Di Malaysia, profesionalisme guru merupakan keniscayaan sebagai upaya penguatan kinerja Pejabat Pendidikan untuk melaksanakan tugasnya secara efisien dan efektif di berbagai jenjang karir. Bagaimana dengan di Indonesia? Dosen dituntut untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang perguruan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (UUGD Nomor 14 Tahun 2005. Pendidik sangat diharapkan dapat menjabarkan dan mengembangkan tugas tersebut dalam pembelajaran, yang berorientasi pada kebutuhan peserta didik. Profesionalitas pendidik mengandung makna bahwa tanggung jawab yang melekat pada pendidik, dapat direalisasikan untuk mengembangkan keahlian dan dedikasinya di dunia pendidikan, dan mampu mengimplementasikan secara ilmiah pada bidang profesinya. 

Secara rinci kajian ini mengidentifikasi empat fase profesionalisme pendidik dan profesionalisasi. Keempat fase tersebut adalah: 1) pra profesional, 2) profesional otonom, 3) profesional kolegial dan 4) pasca-profesional (Hargreaves, 2000); masing-masing fase memiliki karakteristik unik sebagai pembeda antara fase satu dengan fase yang lainnya. Fase pra profesional, mengajar sangat menuntut secara manajerial tetapi secara teknis sederhana sehingga pendidik hanya diharapkan untuk melaksanakan arahan dari atasan mereka yang berpengetahuan luas. Selama fase pra profesional, sistem pendidikan hanya dianggap sebagai perantara untuk menyampaikan pengetahuan sejarah. Oleh karena itu, seseorang hanya perlu menjadi asisten pengajar (pre service education) untuk menjadi seorang pendidik. Pendidikan prajabatan secara praktis membantu calon pendidik untuk memahami peran utama seorang pendidik dalam pengajaran berbasis afektif, keterampilan interpersonal, dan pengetahuan, namun tidak menggantikan kompetensi teoritis. 

Fase otonom professional, ditandai dengan tantangan terhadap singularitas pengajaran dan tradisi yang tidak diragukan yang menjadi dasarnya. “Otonomi” dianggap sebagai komponen penting dari profesi pendidik. Prinsip bahwa pendidik memiliki hak untuk memilih metode yang menurut mereka terbaik untuk peserta didik dan memperoleh kebebasan pedagogis yang cukup besar. Otonomi adalah salah satu fokus utama yang ditampilkan dalam karakteristik profesionalisme, tugas profesional itu penting, eksklusif dan kompleks, sehingga profesional harus memiliki kekuatan pengambilan keputusan otonom bebas dari tekanan eksternal. 

Fase professional kolegial, ini menarik perhatian dengan meningkatnya upaya untuk menciptakan budaya profesional yang kuat dari kolaborasi untuk mengembangkan tujuan bersama, untuk mengatasi ketidakpastian dan kompleksitas dan untuk merespon perubahan dan reformasi yang cepat secara efektif. Metode pengajaran sekarang berkembang melampaui perbedaan sederhana antara metode tradisional dan yang berpusat pada anak. Banyak pendidik mulai beralih pada pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif untuk pembelajaran profesional, untuk arah, dan untuk saling mendukung. Peran pendidik telah diperluas untuk mencakup konsultasi, perencanaan kolaboratif dan jenis kerja sama lainnya dengan rekan kerja. Dalam dunia yang mempercepat reformasi pendidikan, kerja sama semacam ini dapat membantu pendidik untuk mengumpulkan sumber daya, dan untuk membuat pemahaman bersama dan mengembangkan tanggapan kolektif terhadap pembelajaran yang intensif dan tuntutan yang sering berubah-ubah pada praktik mereka. 

Fase pasca professional, perubahan dan perkembangan pendidikan dan masyarakat pada umumnya pada pergantian milenium, menunjukkan bahwa profesionalisme pendidik dan pengembangan profesional mungkin memasuki, atau bahkan mungkin sudah tertanam dalam, era baru era pasca profesional atau post-modern. Nasib profesionalisme pendidik di era ini sama sekali tidak tetap, tetapi sedang dan akan diperdebatkan, diperjuangkan dan ditarik ke arah yang berbeda di tempat yang berbeda pada waktu yang berbeda. Salah satu hasil yang mungkin dari proses ini adalah profesionalisme post-modern baru yang lebih luas, lebih fleksibel dan lebih inklusif secara demokratis dari kelompok di luar pengajaran dan perhatian mereka daripada pendahulunya. Profesionalisme post-modern yang tersebar luas, terbuka, inklusif dan demokratis hanya akan terwujud melalui gerakan sosial yang sadar dari orang-orang yang berkomitmen untuk mewujudkannya.

Secara umum, empat fase profesional pendidik dapat ditandai dengan berbagai hal berikut. Pertama, fase otonom profesional, ditandai dengan tantangan terhadap singularitas pengajaran dan tradisi yang tidak diragukan yang menjadi dasarnya. Selanjutnya, profesional otonom dianggap sebagai komponen penting dari profesi pendidik. Prinsip bahwa pendidik memiliki hak untuk memilih metode yang menurut mereka terbaik untuk peserta didik dan memperoleh kebebasan pedagogis yang cukup besar. Ketiga, fase profesional kolegial dapat dilihat dari meningkatnya upaya untuk menciptakan budaya profesional yang kuat dari kolaborasi untuk mengembangkan tujuan bersama, untuk mengatasi ketidakpastian dan kompleksitas dan untuk merespon perubahan dan reformasi yang cepat secara efektif. Terakhir, fase pasca profesional diwujudkan pada perubahan dan perkembangan pendidikan dan masyarakat pada umumnya pada pergantian milenium.

Profesionalisme dan profesionalisasi pendidik memiliki arti penting yang relevan dalam pendidikan karena mempengaruhi peran pendidik dan pedagoginya, yang pada gilirannya mempengaruhi kemampuan peserta didik untuk belajar secara efektif. Profesionalisme didefinisikan sebagai kemampuan untuk menjangkau peserta didik dengan cara yang bermakna, mengembangkan pendekatan inovatif untuk konten yang diamanatkan sambil memotivasi, menarik, dan menginspirasi pikiran dewasa muda untuk mempersiapkan teknologi modern. Kebebasan yang berkembang yang diberikan kepada pendidik, profesionalisme tetap menjadi salah satu atribut pendidikan yang paling berpengaruh saat ini. Profesionalisme pendidik mengandung tiga karakteristik penting, kompetensi, kinerja dan perilaku, yang mencerminkan tujuan, kemampuan, dan standar pendidik, dan berdampak langsung pada efektivitas pengajaran melalui pengembangan kualitas-kualitas ini.

Peningkatan profesionalisme dan profesionalisasi pendidik menjadi isu yang sangat penting diberbagai negara termasuk Indonesia. Meskipun upaya peningkatan profesionalisme pendidik telah dilakukan, namun penerapannya masih mengalami berbagai macam kendala yang mengakibatkan pendidik tidak mampu mengimplementasikan ilmu yang diperolehnya. Pemerintah Indonesia memberikan perhatian serius terhadap profesionalisme pendidik karena memiliki hubungan langsung dengan kualitas belajar mengajar. Perhatian pemerintah terhadap profesionalisme pendidikan diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 yang mengatur tentang profesionalisme guru dan dosen Indonesia dalam pasal 7, yaitu: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya; (d) memiliki kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan bidang tugasnya; (e) memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tugas profesionalisme; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan menurut prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesionalisme secara berkesinambungan dengan pembelajaran sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya; dan (i) memiliki organisasi profesi yang berwenang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan profesionalisme pendidik. 

Peningkatan profesionalisme merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari karena meningkatnya profesionalisasi terhadap profesi. Konsekuensi dari peningkatan ini adalah peningkatan apresiasi yang diterima oleh setiap pendidik dari masing-masing institusi. Peningkatan profesionalisme dosen pada awal karirnya tidak berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisasinya. Hal ini dikarenakan dosen pada awal karirnya cenderung dengan sukarela mengemban tugas yang melebihi apa yang diberikan, untuk meningkatkan kepercayaan dari atasannya. Ini memiliki potensi untuk kontribusi jangka panjang. Bahkan dalam kasus terburuk, semakin tinggi penghargaan yang mereka dapatkan, semakin rendah kualitas profesionalisme mereka. Dalam hal ini, perguruan tinggi di Indonesia harus mengevaluasi kembali bagaimana profesionalisme pendidik harus ditingkatkan dan mekanisme mana yang terbaik untuk memberikan kompensasi kepada mereka. Cukup menarik untuk dikaji lebih jauh tentang pola ini; oleh karena itu, perlu membandingkan penelitian serupa di negara yang berbeda. 

Merujuk pada perkembangan fase pendidik dalam mewujudkan profesionalisme dan profesionalisasi maka, kolaboratif profesionalisme menjadi hal yang bisa dijadikan acuan, dimana secara positif mempengaruhi pembelajaran peserta didik membutuhkan alat yang lebih baik dan kepercayaan yang lebih dalam, struktur yang lebih jelas dan budaya yang lebih kuat, keahlian dan antusiasme. Profesionalisme kolaboratif membutuhkan kerja bersama (team work), yang menampilkan ketelitian, dialog, keahlian, dan umpan balik yang terbuka dan jujur. Bentuk kolaboratif profesionalisme dapat berbentuk pembelajaran, transformasi pedagogis, komunitas pendidik, dan kolaborasi kolegial. Upaya kolaborasi ini akan mendorong pendidik untuk menjadi pembelajar yang aktif dan teliti, berdasarkan keyakinan bahwa pendidikan harus merespon dan mempersiapkan peserta didik untuk dunia yang kompleks dan berkembang pesat.

Terima kasih.