image_pdf

Oleh : Prof. Dr. Hayuni Retno Widarti, M.Si

Kimia sebagai cabang ilmu sains tidak lepas dari konsep-konsep beberapa fenomenanya bersifat abstrak. Ini dirasakan peserta didik kita, bahkan di kalangan mahasiswa. Fenomena abstrak pada ilmu kimia ini berdasar pada materi ajar yang tidak tampak secara kasat mata, seperti struktur atom, molekul, dan ion. Semakin spesifik ilmu yang dipelajari, semakin abstrak ilmu yang diterima (Luxford & Bretz, 2019). Mainset yang tertanam dalam benak siswa bahwa kimia itu sulit menjadikannya enggan untuk belajar kimia. Faktor internal penyebab kesulitan belajar meliputi pemahaman terhadap materi kimia, kemampuan matematika rendah, dan kurangnya motivasi belajar kimia. Faktor eksternal penyebab kesulitan belajar meliputi metode mengajar yang diterapkan guru, pengaruh negatif teman sebaya, keadaan dan waktu pembelajaran yang kurang kondusif (Yunitasari et al., 2019).

Permasalahan yang terjadi pada materi kimia dapat disebabkan oleh ketidakmampuan siswa melakukan transisi pemahaman diantara representasi makroskopik, mikroskopik, dan simbolik sehingga berpotensi menyebabkan pemahaman siswa menjadi tidak tepat dan bahkan cenderung menimbulkan miskonsepsi (Santos & Arroio, 2016). Salah satu kesulitan siswa dalam mempelajari kimia adalah tidak mampu mengkorelasikan pemahaman dari satu level representasi menuju level representasi lainnya (Farida et al., 2010). Miskonsepsi merupakan ketidaksesuaian antara konsep yang dipahami siswa dengan konsep yang sebenarnya (ahli). Miskonsepsi ini dapat menimbulkan konflik yang muncul ketika siswa merasa ketidaksesuaian antara materi dan perilaku seseorang atau bisa disebut dengan cognitive dissonance. Cognitive dissonance adalah situasi yang mengacu pada konflik mental, yang terjadi ketika keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang tidak selaras. Oleh karena itu diperlukan strategi cognitive disisonance dengan memberikan beberapa pertanyaan yang menantang untuk mengatasi konflik tersebut. Seseorang akan termotivasi untuk mengatasi konflik itu, secara umum dengan mengubah keyakinan seseorang untuk menambahkan semangat belajar (Widarti et al., 2021). Dari uraian tersebut tentang ketiga aspek terkait multiple representation, miskonsepsi, dan cognitive dissonance memiliki peranan dalam proses kegiatan belajar kimia siswa. Oleh karena itu, inovasi pembelajaran perlu dikembangkan untuk mereduksi miskonspsi pada materi kimia. 

Multiple representation menjadi perpaduan antara teks, gambar nyata, atau grafik. Model pembelajaran multiple representasi yakni seseorang yang membaca/memahami teks yang disertai gambar, aktifitas yang dilakukannya yaitu: memilih informasi yang relevan dari teks, membentuk representasi proporsi berdasarkan teks tersebut, dan kemudian mengorganisasi informasi verbal yang diperoleh ke dalam mental model verbal (Taber, 2013). Multiple representation adalah representasi kimia dari dimensi makroskopik, submikroskopik, dan simbolik (Gilbert & Treagust, 2009). Dengan kata lain kajian kimia melibatkan tiga level representasi kimia yaitu level makroskopik, submikroskopik dan simbolik. Level makroskopik adalah fenomena kimia yang terlihat nyata menggunakan indra manusia, melalui penglihatan, penciuman, dan sentuhan. Level ini menjelaskan fenomena yang nyata dalam pengalamaan sehari-hari. Siswa dapat mengamati perubahan yang terjadi pada sifat materi seperti pembentukan gas, pembentukan endapan, perubahan warna larutan dan pH larutan. Salah satu contoh fenomena pada level makroskopik adalah perubahan kertas lakmus merah akan tetap merah bila mengandung senyawa asam. Representasi submikroskopik menjelaskan fenomena kimia pada tingkat partikulat yang tidak dapat diindera manusia seperti atom, molekul, dan ion. Penggunaan istilah submikroskopik merujuk pada level yang berukuran lebih kecil dari level nanoskopik yang akan direpresentasikan. Level representasi submikroskopik yang dilandasi teori partikulat materi digunakan untuk menjelaskan fenomena makroskopik dalam gerakan partikel-partikel, seperti gerakan elektron-elektron, molekul-molekul dan atom-atom (Madden et al., 2011). Simbolik menjelaskan fenomena kimia dengan menggunakan simbol, angka, huruf, ataupun tanda. Dengan kata lain representasi simbolik merupakan representasi kimia secara kualitatif dan kuantitatif, yaitu rumus kimia, diagram, gambar, persamaan reaksi, stoikiometri dan perhitungan matematik. Pada umumnya pembelajaran kimia yang terjadi saat ini hanya membatasi pada dua level representasi, yaitu makroskopik dan simbolik. Level makroskopik dipelajari terpisah dari dua tingkat berpikir lainnya, sehingga siswa cenderung hanya menghafalkan level representasi submikroskopik dan simbolik yang bersifat abstrak (dalam bentuk deskripsi kata-kata) akibatnya tidak mampu untuk membayangkan bagaimana proses dan struktur dari suatu zat yang mengalami reaksi (Priyasmika, 2021). 

Sejumlah riset yang kami lakukan secara berkesinambungan, terhadap peranan multiple representation dalam pembelajaran kimia pada tingkat sekolah ataupun universitas, merekomendasikan perlunya pengaitan materi kimia yang melibatkan beberapa fenomena bersifat abstrak dengan berbagai representasi. Multiple representation dapat digunakan untuk mendorong siswa membangun pemahaman terhadap situasi secara mendalam dalam pemahaman materi yang saling berkaitan dan komperhensif ( Widarti, Nazriati, et al., 2020). Merespon era distrupsi ini, visualisasi materi perlu ditingkatkan dengan berbasis multiple representation.  Memahami konsep jika tidak dihubungkan dengan multiple representation dengan benar, maka kemungkinan besar akan menimbulkan miskonsepsi (Guzel & Adadan, 2013)

Miskonsepsi dapat menghambat proses penerimaan dan asimilasi pengetahuan baru dalam diri siswa, sehingga akan berdampak pada keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran selanjutnya. Miskonsepsi masih menjadi salah satu masalah dalam pembelajaran di sekolah (Kane et al., 2016). Para peneliti tentang miskonsepsi menemukan berbagai hal yang menjadi penyebab miskonsepsi pada siswa. Secara garis besar, miskonsepsi dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. Banyaknya faktor yang menyebabkan miskonsepsi siswa, menjadikan semakin tidak mudah membantu siswa untuk mengatasi miskonsepsi mereka  (Orgill & Sutherland, 2008). Hal tersebut diperkuat bahwa miskonsepsi berbahaya sebab akan memberikan pemikiran dan rasa yang salah dalam memahami konsep sehingga terjadi hambatan pemahaman antara konsep sebelumnya yang salah dengan konsep baru yang sedang dipelajari ( Widarti et al., 2017). 

Berbagai strategi pembelajaran yang telah saya kembangkan cukup tepat untuk mengurangi miskonsepsi tetapi tidak mampu membuat “zero miskonsepsi”. Hal ini dapat dipahami karena miskonsepsi dapat bertahan lebih lama pada siswa dan sulit untuk diubah. Kegiatan tindak lanjut diperlukan untuk memungkinkan pemikiran logis siswa untuk mengubah miskonsepsi mereka menjadi fakta. Salah satu strategi untuk mengantisipasi miskonsepsi yang semakin rumit adalah dengan melakukan tanya jawab, berdiskusi dengan siswa sebelum memulai pembelajaran untuk mengetahui miskonsepsi apa yang dibawa siswa (Widarti et al., 2016).

Cognitive dissonance dapat didefinisikan sebagai konflik yang muncul ketika ada ketidakkonsistenan antara keyakinan dan perilaku seseorang, atau antara dua kognisi (Lee et al., 2003). Menurut teori cognitive dissonance pada seseorang harus senantiasa dimotivasi untuk mengurangi konflik itu, secara umum dengan mengubah keyakinan seseorang. Motivasi mendorong siswa untuk melakukan usaha lebih keras lagi sehingga memperoleh hasil pembelajaran yang maksimal (Dumanaw et al., 2021). 

Desain pembelajaran kimia dengan menggunakan strategi cognitive dissonance diharapkan dapat menjadi alternatif solusi yang dapat “mengelitik” siswa bahwa konsep materi yang dimiliki masih belum tepat. Strategi ini memiliki beberapa keunggulan seperti (1) meningkatkan pemahaman siswa dalam menggunakan representasi ganda, (2) memotivasi siswa, (3) melatih mereka untuk beradaptasi dengan konsep baru, dan (4) mendorong siswa untuk bekerja sama meskipun fakta bahwa strategi ini tidak dapat berhasil meringankan kesalahpahaman ( Widarti et al., 2021). Oleh karena itu perlu dilakukan program pembelajaran kimia menggunakan multiple representation dengan strategi cognitive dissonance untuk mereduksi miskonsepsi. Diharapkan dengan program pembelajaran ini diperoleh pemahaman kimia yang utuh.