image_pdf
Prof. Dr. Ponimin, M.Hum
Guru Besar/Profesor dalam bidang Penciptaan dan pengkajian Seni
Departemen Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Tema ini sengaja diangkat sebagai judul naskah pidato pengukuhan guru besar saya,  karena selain sesuai dengan bidang ilmu yang saya tekuni,  juga memiliki peran penting di dalam pengembangan karir saya sebagai dosen pada Departemen Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Utamanya dalam kegiatan akademik kreativitas berkesenian dan kajian seni. Bidang tersebut  tersebut  digeluti dan dikembangkan oleh penulis melalui program pengajaran, penelitian, dan pengabdian Masyarakat. Hal ini  juga turut menguatkan eksistensi saya sebagai Guru Besar dalam bidang Penciptaan Seni dan Kajian Seni.

Kontinuitas dan perkembangan seni kriya masa lalu juga budaya artefak dan atraktif lainnya yang tetap eksis hingga masa kini sebagai warisan tradisi yang memiliki fungsi penguat eksistensi budaya negeri. Dari sana pula sari pati budaya tersebut tak pernah habis untuk diolah dan dikembangkan menjadi seni kriya masa kini melalui teknik, bentuk dan fungsinya. Yakni  oleh para perupa/kriyawan yang berada pada ruang dan waktu kekinian maupun masyarakat yang peduli budaya lokal untuk dieksplorasi ke dalam tuntutan budaya masa kini.

Seni Kriya tradisi dipandang penting karena mencerminkan aspek keunikan dari segi: nilai, bentuk, teknik, atau proses penggarapannya. Di berbagai kawasan pelosok Nusantara terkadang seni kriya diproduksi oleh masyarakat hanya pada waktu luang di selah-selah pekerjaan utama (Timbul Raharjo, 2011). Penggarapan seni kriya tradisi dicapai dari ketekunan atau ketelatenan pelakunya, terkadang tanpa menekankan konsep estetik yang jelas. Estetika kriya mengalir alamiah dan bertransformasi dari waktu ke waktu mengikuti irama roda budaya yang menyertai dimana serta kapan seni kriya tersebut berlangsung dan berkembang. Letak kualitas estetik yang mampu dimunculkan adalah ikatan emosional antara pembuat dan benda yang dibuatnya.

Ketika sistem sosial pada masyarakat mengalami perubahan, aktivitas pengerjaan benda seni kriya mengalami peningkatan pula. Peningkatan tersebut baik dari aspek bahan, teknik, atau prosedur kreatifnya. Masyarakat pelaku seni kriya kekinian telah menunjukkan profesionalnya, baik proses berkreasinya maupun pengelolaan/manajemen artistiknya. Sehingga seni kriya tidak lagi untuk kepentingan komunitasnya saja. Kriya juga dikerjakan oleh individu-individu maupun kelompok dengan mengaplikasikan perkembangan teknologi sesuai tema garapan sesuai zamannya. Misalnya dalam proses kreasi yakni dengan perumusan konsep kreatif, ketrampilan tinggi, serta kualitas hasil kerja, sistem manajemen, dan perencanaan prosedur kerja yang sistematik pula.

Hal ini dapat dicontohkan dari hasil karya seni kriya dari berbagai etnik maupun kriya yang dihasilkan oleh individu-individu dalam garapan seni kriya bersifat ekspresi artistik individual (Sachari, & Widodo, 2015).  Pada tuntutan era kini eksistensinya didukung pula adanya penguatan bangunan jejaring sosial yang harus dikuasai pelaku kriya. Pada aspek tersebut pentingnya pelaku kreatif seni kriya terhadap penguasaan media digital dalam olah kreatif kriya dan menguatkan jejaring  sosial. Hal tersebut harus menjadi bagian proses kreatif hingga ke ruang publik secara global (Australia et al., 2002) (Chutia & Sarma, 2016).

Seiring perkembangan keilmuan bidang seni, metode kreatif memiliki peran penting dalam pewacanaan penciptaan seni utamanya berbasis akademik. Penciptaan karya seni baik untuk sarana ekspresi artistik pribadi maupun sarana kehidupan, kreator seni kriya berbasis akademik membutuhkan sederet proses kreatif agar wujud yang hadir sesuai konsep yang dikembangkan. Metode kreatif tersebut merupakan rambu-rambu berekspresi yang berisi tahapan atau langkah-langkah kreatif yang disadari ataupun yang tidak disadari secara nyata. Namun dalam penciptaan seni tradisi berbasis komunal umumnya tidak membutuhkan tahapan yang tertulis, terkonsep, dan tertata secara prosedural, seperti dalam proses kreatif yang berbasis akademik. Ia mengalir secara alamiah dan berjalan menjadi bagian aktivitas yang rutin dalam menghasilkan karya seni.  Tak terkecuali pada persyaratan proses kreatif dalam produksi seni kriya tradisi. Sebagaimana yang berlangsung di sentra-sentra produksi seni di Bali, Yogyakarta, Malang dan juga tempat-tempat lain sebagai kantong-kantong produsen seni kriya. Para seniman kriya dalam bekerja seni mengalir mengikuti irama intuisinya ataupun tuntutan lingkungannya.  Dalam berkreasi menggunakan pengalaman berkelanjutan, pendekatan lokalitas, dan menerapkan secara nyata dan alami. Alam dan lingkungan kultural adalah kekuatan dasar melakukan proses kreatif yang diperkuat pengalaman artistik yang alamiah pula. Melalui kemampuan teknis serta pengalaman artistik sebagai dasar berkreasi kriya sesuai tuntutan perkembangan artistik (Guntur, 2016; Ponimin, 2017). 

Hal ini tentu berbeda dengan konsep penciptaan yang berbasis akademik. Penciptaan yang berbasis akademik umumnya menggiring pencipta seni pada ruang intelektual sebagai kesadaran kreatif yang dikedepankan. Seorang kreator seni dengan berpegang pada kesadaran intelektual, berbasis riset sebagai dasar berkreasi.

Akan tetapi dalam perjalanan proses kreatif saya, terkadang membiarkan imajinasi liar menembus batas-batas konsep akademik berbaur secara alamiah guna mendapatkan rasa artistik yang alamiah pula. Meskipun penulis dibesarkan dalam lingkungan akademik, terkadang dalam berkreasi juga melepaskan hal-hal yang berpijak pada kajian teoritis semata.  Berpijak pada pengalaman pribadi pula, penulis menyadari bahwa proses kreatif untuk menghasilkan karya terkadang tidak hanya bersumber dari kesadaran intelektual yang bersifat analitis semata. Namun apa yang saya rasakan secara alamiah pada dasarnya terkadang juga lebih kuat adanya dorongan ‘intuisi atau kepekaan artistik’ yang mengalir liar guna menghasilkan keartistikan yang natural pula. Oleh karena itu dalam proses kreatif terkadang kesadaran analitik dan intuitif dapat berjalan beriringan, dan terkadang aspek intuitif melampaui aspek intelektual tersebut. Pengalaman kreatif dalam olah bentuk, olah teknik penggarapan suatu karya cipta seni kriya yang dinarasikan dengan beberapa  pendekatan untuk dipahami sebagai bagian dalam pengalaman kreatif.

Mengacu pada pengalaman penulis, berikut ini dicoba contohkan bagaimana metode kreatif yang diterapkan di medan kreasi seni teraplikasikan dalam praktik seni  kriya:

1. Metode Kreatif Dalam Praktik Seni Kriya Tradisi dan Komunal

Berkesenian itu mengalir seperti air tidak mencari kerumitan. Pencipta seni untuk membantu memecahkan masalah kehidupan sebagai bagian berkesenian. Pikiran, perasaan dan materi seni menjadi satu dalam diri manusia atau masyarakat tanpa jarak. Dalam konteks tersebut media seni, bentuk seni, dan tujuan menciptakan seni terkadang bukan merupakan sesuatu yang diada-adakan. Berjalan mengalir bagian urat nadi kehidupan. Alam, dan diri menjadi satu (manjing) tanpa bumbu-bumbu untuk mengubahnya menjadi sesuatu sebagai kebutuhan artistik yang bernafaskan religi, sosial budaya, ekonomi, politik, dan lainnya. Konsep untuk menjadikan barang seni kriya atau tujuan seni tidak dirasakan sebagai tujuan utama. Ketercapaian alamiah menjadi penting dalam mencapai tujuan seni kriya (Kathleen K. Desmond, 2011).

2. Metode Kreatif Konteks Akademik

Terdapat dua rana dalam penciptaan seni kriya berbasis akademik. Dalam gonjang-ganjing penelitian kekaryaan seni kriya penulis masih meyakini bahwa dalam penciptaan seni kriya ini memiliki keunikan yang mungkin pada seni rupa yang lain tidak ditemukan, karena kekuatan budaya etnik menjadi ciri yang menyertai.

Seni kriya yang masih dalam perdebatan yang pelik (dia masuk pada seni murni atau seni terapan), (dia ada di jalur seni ekspresi individual maupun seni fungsional ruang publik), bagi penulis hal itu tidak harus untuk diperdebatkan secara panjang lebar. Yang jelas pada percaturan seni rupa di era sekarang seni kriya ada di kedua ruang tersebut. Pengaplikasian pada masyarakat seni ada pada ruang di keduanya dan berjalan secara alamiah pula. Kreatifitas seninya mengalir mengikuti perkembangan wacana kesenirupaan atau tuntutan budaya yang sedang berlangsung. Pada aspek metode kreasinya pun juga menyesuaikan dengan kondisi yang berkembang. Kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam pelaksanaan proses akademik berkesenian di berbagai perguruan tinggi juga menerapkan hal serupa ketika terdapat wacana jalur peminatan penelitian kreatif oleh mahasiswa yang menempuh skripsi, tesis atau disertasi kekaryaan seni.

Pada tujuh tahun yang lalu pada prodi Pendidikan Seni Rupa program S1  FS UM telah menerapkan model tersebut. Model penelitian penciptaan seni melalui program skripsi ini juga untuk menumbuhkan minat mahasiswa memilih jalur skripsi kekaryaan dengan model pilihan keahlian seni rupa sesuai minat bidang yang digeluti. Yakni yang ditunjang oleh matakuliah keahlian seni rupa reguler sebelumnya sebagai dasar pertimbangan.

Alur kerja akademiknya dalam penelitian kreatif penciptaan seni ini dibelajarkan paling tidak tiga pengalaman akademik yang harus dilalui. Yakni menggali subjek sumber ide dan merumuskannya sebagai konsep penciptaan, mewujudkan konsep penciptaan menjadi karya, dan telaah hasil penciptaan seni kedalam bentuk naskah skripsi serta mempertanggungjawabkan dalam sidang skripsi (Guntur, 2016). Saya juga sering menerapkan penelitian kreatif ketika memenangkan hibah kompetensi penelitian  yang diselenggarakan oleh penelitian tingkat Universitas Negeri Malang maupun oleh DRPM/DRTPM RISTEKDIKTI. Dalam penerapannya dengan mengadopsi beberapa metode penciptaan seni yang ada dan disesuaikan dengan tema garapan penelitian. Hal ini guna mencari solusi yang tepat dalam mendekatkan permasalahan penelitian kreatif.

Kembali kepada dasar penciptaan seni kriya yang berspirit pada seni kriya untuk ruang publik dan spirit untuk ruang ekspresi individual, saya mencoba membagi metode kreatifnya juga dalam 2 ruang tersebut. Pola kreatif penciptaan seni kriya berbasis akademik untuk ruang publik menerapkan metode kreatif didasarkan pada kebutuhan publik sebagai pijakan berkreasi. Intinya adalah untuk menyelesaikan permasalahan pada masyarakat. seni kriya yang bersifat ekspresi individual penciptaanya didasarkan pada kepuasan emosional penciptanya. Tentu saja dalam kebebasan berekspresi  kreator seni kriya tetap dibatasi aspek material dan teknik garap sebagai bahasa ungkap visual yang dipilihnya.

Dalam penggarapan suatu karya seni kriya, saya mencoba mempolakan dalam proses kreatif penciptaan seni kriya yang dipicu sumber ide penciptaan. Terdapat dua jenis model kreasi sebagai dasar proses kreatif tersebut. Model pertama adalah bahwa penciptaan seni dapat mengacu model  representasi dan yang kedua reinterpretasi. Pola representasi adalah kreator seni kriya dalam mengolah bentuk karya menempatkan sumber ide penciptaan  objek sumber ide sebagai sebuah teks visual untuk dipresentasikan ulang  melalui media lain dengan wujud kreasi hasil olah kreator. Dalam hal ini, seorang pencipta karya  seni kriya memposisikan objek penciptaan seni (sumber ide) sebagai teks yang dapat dipinjam untuk dialihwahanakan atau dialihmediakan  melalui media seni kriya. Pencipta seni kriya tanpa melakukan tindakan kritis terhadap sumber ide. Hanya meminjam teks visual atau teks naratif yang ada pada sumber ide untuk dihadirkan dalam wujud baru secara kreatif. Mereka tanpa menginterpretasi aspek isi makna / pesan yang terdapat pada sumber ide tersebut ketika mengalihkan ke dalam media kriya yang baru.

Hal ini berbeda dengan pola kerja kreatif seni bersifat reinterpretasional. Pada pola  penciptaan seni reinterpretasi ini kreator dituntut melakukan tindakan kritis terhadap sumber ide penciptaan seni. Objek sumber ide penciptaan  dapat menjadi ruang imajinasi baru yang dapat diperlakukan oleh kreator dengan modal pengetahuan dan pengalaman artistik. Objek sumber ide adalah sesuatu yang dapat menghidupkan imajinasi ditinjau dari aspek, wujudnya, bentuknya maupun makna yang terkandung di dalamnya.

Objek sumber ide penciptaan karya seni tersebut bukan sesuatu yang dianggap pasif (yang berhenti pada titik imajinasi tersebut). Sumber ide kreasi merupakan ruang yang dapat digerakan berdasarkan imajinasi dan penalaran kreator seni kriya. Kreator seni kriya dapat melakukan pemaknaan ulang terhadap isi sumber ide untuk menghasilkan kebaruan tentang makna dan bentuk dari sumber ide tersebut. Dalam hal ini, sumber ide tidak dipahami sebagai sebagai sebuah teks pasif. Akan  tetapi dicoba untuk dihidupkan melalui imajinasi-imajinasi melalui makna dan bentuk baru. Posisi sumber ide dalam hal ini adalah untuk memicu munculnya makna baru dan bentuk baru melalui karya kriya.  Kehadiran bentuk baru ini adalah didasarkan pada pergulatan emosional, kognitif dan penguasaan teknis seorang pencipta seni kriya sehingga kehadiran melalui karya baru tersebut menjadi benar-benar spesifik secara isi, bentuk dan teknik garap karya.

           Berbeda dengan model penciptaan karya kriya ekspresi individual atau personal. Penciptaan  kriya semacam ini untuk menghasilkan karya yang bersifat ekspresi pribadi atau dalam istilah lain kriya seni. Penulis merupakan pelaku seni yang telah dibentuk atau dimodali pengalaman berkarya oleh di dua lingkungan yang berbeda. Pada satu sisi dibentuk di lingkungan sentra kriya gerabah Kasongan, pada sisi lain juga dibentuk di lingkungan akademik. (mulai dari SMSR Yogyakarta dan Seni Rupa ISI Yogyakarta hingga sekarang di lingkungan jurusan Seni dan Desain UM). Tradisi dalam lingkungan akademik dalam berkreasi dituntut aspek ilmiah. Hasil kreasi seninya dituntut pertanggungjawaban secara verbal  dan yang lainnya. Misalnya pentingnya melakukan pengkajian karya-karya terdahulu dan juga penguatan teoritis sebagai pijakan dalam berkreasi sebelum melakukan proses berkarya. Hal ini merupakan bagian prosedur kreatif yang harus dilalui pula.

Sebagai contoh hasil kerja kreatif bersifat representasi sumber ide adalah:

Karya keramik instalasi ekspresi Individual berikutnya berjudul: “Takdir dan Pilihan Asmara”.

Konsep:

“Mitos Panji dari Jawa Timur ditemukan juga pada sentra pertunjukan tradisi di Malang. Tokoh sentral yang menjadi topik asmara adalah dewi cinta: Candrakirana atau Sekartaji. Putri raja Daha yang tersohor kecantikannya. Dalam tradisi budaya raja-raja Hindu, ikatan asmara bisa disayembarakan untuk mengukuhkan eksistensi wanita, lambang pertiwi atau tanah kelahiran. Tanah yang merupakan esensi manusia dan juga bumi sebagai wujud jagad raya (makrokosmos), dari butiran-butiran tanah dari sari pati bumi dan dirangkai untuk menjadi sebuah kesatuan. Sekartaji adalah simbol wanita yang mengukuhkan tanah saripati bumi yang diuntai sebagai citra asmara, sehingga berbagai satria dari manca sabrang berburu asmaranya. Klana Garudayaksa, Klana Tunjung Seta, Klana Sewandana semuanya disingkirkan dari hadapannya. Hanya takdir dewata yang menyatukan antara Sekartaji dan Panji Asmarabangun. Takdir dan pilihan telah menjadi sebuah asmara yang dibangkitkan atas penyatuan antara tanah dan angkasa, lambang laki-laki sejati (lelananging jagad)”.

Foto Karya keramik berjudul: Takdir dan Pilihan Asmara” ukuran tinggi 300 cm. lebar 200 cm. material untaian manik manik terakota

Sedangkan karya seni yang bersifat reinterpretasi sumber ide adalah:

8. Karya cipta reinterpretasi ekspresi individual berjudul “Kelanggengan Asmara” material keramik stoneware.

Konsep karya: “Kelanggengan asmara merupakan bentuk penyatuan untuk dipertahankan hingga kaki-kaki lan nini-nini (kekal abadi hingga beranak cucu). Dihayati dari adegan dalam lakon “Rabine Panji”. Terwujud bagaikan tanah liat stoneware yang terbakar menjadi padat, kuat, dan berdiri kokoh.  Terbentuknya karya dicapai melalui pembentukan dan ornamentasi yang rumit.  Bagaikan ungkapan cara memperoleh suatu kelanggengan yang penuh dengan kerumitan.  Dipersepsikan penyatuan Panji Asmarabangun putra mahkota Jenggala dan Dewi Sekartaji putri istana Daha. Penyatuan  keduanya bagaikan struktur visual garis-garis bergelombang saling silang bertemu dan berkait antar bagian yang berada di sebelah kanan dan kiri. Kaitan antar unsur visual berupa motif hias garis-garis bergelombang dimaksudkan untuk semakin memperkuat kekokohan struktur bentuk oval yang berdiri tegak simetris. Pola bentuk karya yang halus berwarna putih merupakan ungkapan kepasrahan dan ketulusan.

Karya ini tidak harus dimaknai sebagai pembekuan legenda, tetapi lebih dari itu adalah bentuk “penghidupan” cinta. Percintaan Panji dan Sekartaji adalah wahana yang menjadi sumber “metafora”. Sementara itu, dua bentuk yang disatukan dengan garis lengkung lilitan bergelombang, berwarna putih mengkilat, material yang kuat, dan padat merupakan pesan makna yang dimaksudkan, yakni ungkapan penyatuan yang langgeng. Dalam tradisi budaya Jawa, Panji dan Sekartaji adalah pasangan ideal atas cintanya

Foto Karya berjudul Kelanggengan/Kekokohan Asmara. Material keramik Stoneware, pembentukan tangan langsung. (Foto: Ponimin, 2019)

Foto Ponimin dalam Proses pembentukan karya keramik berjudul: Kelanggengan asmara