image_pdf

 Prof. Dr. Henny Indreswari, M.Pd

Guru Besar Bidang Konseling Humanistik

Nilai-nilai etika profesional merupakan hal yang sangat penting dalam profesi konselor. Bimbingan dan konseling Indonesia memiliki nilai inti yang terdiri atas 1) meningkatkan perkembangan manusia di seluruh rentang kehidupannya; 2) menghormati keragaman dan menggunakan pendekatan multikultural untuk mendukung nilai, martabat, potensi, dan keunikan setiap individu dalam konteks sosial dan budaya; 3) mempromosikan keadilan sosial melalui layanan advokasi; 4) menjaga integritas pribadi dalam hubungan konselor-konseli; dan 5) mempraktikkan layanan bimbingan dan konseling dengan cara yang kompeten dan perilaku etis, dengan dilandasi oleh nilai-nilai luhur dan keragaman budaya Indonesia.

Profesionalitas konselor dalam konteks pendidikan formal berdampak pada kemandirian peserta didik. Konselor sekolah memiliki peran yang substansial dalam membantu peserta didik atau konseli dalam mengatasi berbagai masalah kehidupannya, baik masalah pribadi, sosial, belajar, maupun karier. Penguatan profesionalisme pada calon konselor menjadi krusial dalam memastikan pelayanan bimbingan dan konseling yang efektif dan berkualitas. Tingkat profesionalisme ini juga dapat membuka peluang karier yang lebih baik bagi konselor yang memiliki kualifikasi tinggi. Sebagai hasilnya, konselor yang profesional menjadi pilihan utama bagi berbagai lembaga dan institusi yang memerlukan layanan konseling.

Calon konselor adalah mahasiswa dari program studi Bimbingan dan Konseling yang akan menjadi konselor sekolah setelah lulus. Mereka diharapkan telah menyelesaikan mata kuliah relevan untuk memberikan layanan konseling di sekolah selama perjalanan akademik dari semester satu hingga tujuh. Hasil riset menunjukkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi etika profesional calon konselor, seperti kompetensi multikultural, peran gender, tingkat mindfulness, dan sikap saling memaafkan. Selain itu, rendahnya empati calon konselor juga menjadi masalah, dengan beberapa faktor yang mungkin memengaruhinya, termasuk kesulitan beradaptasi, kesulitan memisahkan urusan pribadi dari orang lain, tekanan akademik, dan kurangnya model pembelajaran yang mendukung empati.

Kemampuan empati memainkan peran penting dalam layanan konseling yang efektif, memungkinkan konselor untuk memahami dan merasakan perasaan serta pikiran konseli. Empati melibatkan komponen kognitif dan afektif, termasuk kemampuan untuk memahami pandangan orang lain dan merasakan simpati atau empati terhadap mereka. Tingkat empati seorang konselor dapat memengaruhi kualitas hubungan dengan konseli dan hasil dari proses konseling itu sendiri. Meskipun empati dianggap penting, dalam praktiknya – konselor sering kali lebih fokus pada aspek teknis dan penyelesaian masalah daripada aspek empati. Hal ini menunjukkan perlunya meningkatkan kesadaran dan penerapan empati dalam praktik konseling secara lebih luas. Seiring dengan pemahaman yang semakin berkembang tentang pentingnya aspek-aspek afektif dalam konseling, konselor perlu memberikan perhatian yang lebih besar pada pengembangan keterampilan empati dalam interaksi dengan konseli.

Peningkatan kompetensi multikultural calon konselor di Indonesia dapat berkontribusi pada peningkatan etika profesionalitas mereka. Budaya Indonesia yang beragam, dengan nilai-nilai seperti gotong-royong, sopan santun, dan kearifan lokal, dapat memengaruhi praktik konseling. Kemampuan untuk menghargai dan memahami berbagai budaya di Indonesia menjadi penting dalam etika profesionalitas calon konselor. Bahasa dan komunikasi juga memiliki peran signifikan, mengingat Indonesia memiliki banyak bahasa daerah yang beragam. Kesadaran terhadap keragaman budaya juga harus diperhatikan dalam pendidikan calon konselor.

Serat wedharaga, merupakan karya sastra Jawa, mencerminkan nilai-nilai kebajikan seperti sopan santun, mawas diri, dan kearifan lokal. Nilai-nilai ini dapat menjadi dasar pengembangan empati, yang mencakup komponen seperti sikap tidak sombong, perilaku jujur, semangat belajar, dan tanggung jawab. Integrasi nilai-nilai tata krama dalam seratwedharaga dengan indikator empati dapat membentuk dasar etika yang kuat bagi calon konselor, memungkinkan mereka untuk berinteraksi secara etis dan empatik dengan konseli dari berbagai latar belakang budaya. Ini adalah langkah penting dalam memperkuat profesionalitas calon konselor di Indonesia.

Peningkatan kemampuan empati pada calon konselor memerlukan suatu proses pembelajaran yang melibatkan praktik-praktik konkrit. Empati tidak dapat berkembang secara alami, sehingga diperlukan metode pembelajaran yang dapat membantu calon konselor menginternalisasikan kemampuan empatinya melalui pengalaman praktis. Pelatihan keterampilan empati, seperti role play, simulasi, dan studi kasus, menjadi salah satu metode yang efektif dalam meningkatkan pemahaman dan respon terhadap perasaan orang lain. Selain itu, praktik refleksi diri, meditasi, dan mindfulness juga dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran emosional dan kemampuan mengenali perasaan orang lain.

Selain metode tersebut, penggunaan metode kasus (case method) juga dapat memberikan pengalaman praktis dalam pemecahan masalah secara efektif. Dalam metode kasus, calon konselor berhadapan dengan kasus-kasus nyata yang mencerminkan situasi praktik konseling. Dengan menganalisis dan merespons kasus-kasus ini, mereka dapat mengasah kemampuan empati mereka dalam konteks yang realistis. Penggunaan metode kasus juga dapat membantu calon konselor mengembangkan keterampilan interpersonal, berpikir kritis, dan analitis, serta keterampilan berkomunikasi dan bekerja sama dalam kelompok. Ini adalah langkah penting dalam mempersiapkan calon konselor untuk memberikan dukungan dan pemahaman kepada konseli mereka dengan lebih baik.

Strategi untuk memperkuat empati pada calon konselor dapat melibatkan penerapan metode studi kasus yang memanfaatkan nilai-nilai dalam serat wedharaga sebagai inti materi dalam perkuliahan. Pendekatan ini menggabungkan aspek pendidikan dan budaya, membentuk paradigma komprehensif dalam pembentukan profesionalitas calon konselor. Dengan memasukkan nilai-nilai tradisional dari serat wedharaga ke dalam kurikulum perkuliahan, calon konselor dapat memahami lebih dalam nilai-nilai sosial dan etika yang dianut oleh masyarakat, meningkatkan kemampuan mereka dalam berempati dan berinteraksi secara efektif.

Riset ini merancang model pembelajaran berbasis nilai serat wedharaga untuk mempercepat penguatan empati calon konselor. Model ini mencakup 16 pertemuan dengan pre-test, mid-test, dan post-test serta proyek akhir berupa karya tulis ilmiah. Model pembelajaran ini berfokus pada nilai-nilai serat wedharaga dan bertujuan memperkuat empati calon konselor. Upaya riset selanjutnya akan berfokus pada pengembangan strategi di bidang bimbingan dan konseling, untuk memahami potensi budaya Indonesia dalam mempercepat penguatan etika profesional calon konselor. Riset ini akan menganalisis konsep-konsep tradisional yang relevan dengan etika profesional dalam konseling. Hasilnya diharapkan dapat mendukung praktik konseling yang lebih etis, mencerminkan nilai-nilai budaya, dan memajukan profesionalitas calon konselor di Indonesia.