image_pdf

Prof. Dr. Hari Wahyono, M.Pd
Guru Besar Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Malang State University

Pendidikan ekonomi untuk berbagai jalur pendidikan dan konteks Indonesia, saya memaknainya sebagai “upaya sistematis dan terprogram melalui proses belajar untuk menjadikan peserta didik memiliki kemampuan berperilaku ekonomi secara rasional, altruistik dan bermoral, dilandasi oleh pengetahuan, sikap, keterampilan dan kapabilitas dalam berekonomi, serta memiliki kesadaran untuk membela dan memperjuangkan nilai-nilai ekonomi keIndonesiaan berbasis ideologi Pancasila bagi tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran bangsa”. Dengan perilaku ekonomi rasional, peserta didik mampu menggunakan prinsip dan kaidah-kaidah ekonomi dalam menjalani aktivitas ekonomi, sehingga secara pribadi dapat meraih kesejahteraan. Dengan perilaku ekonomi altruistik, peserta didik memperhatikan kepentingan orang lain dalam aktivitas ekonominya, sehingga mereka memiliki kepedulian atas kesejahteraan masyarakat di sekitarnya maupun kesejahteraan bangsanya. Perilaku ekonomi bermoral, artinya peserta didik dalam tindakan ekonominya mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh etika kepribadian, etika sosial, etika agama, dan etika hukum. Kesadaran untuk membela dan memperjuangkan nilai-nilai ekonomi keIndonesiaan berdasar Pancasila, dimaknai bahwa peserta didik memiliki ideologi ekonomi yang dianut dan dijadikan sebagai landasan perekonomian Indonesia, yaitu Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan, serta meyakini bahwa dengan ideologi ekonomi tersebut, bangsa Indonesia akan meraih kesejahteraan dan kemakmuran.

Berbagai pemikiran tentang peran sumber daya manusia bagi pembangunan ekonomi, lebih menitikberatkan sumberdaya manusia pada sisi sumbangannya bagi kegiatan produktif dalam roda kehidupan ekonomi, baik sebagai tenaga kerja maupun wirausaha. Sumberdaya manusia lebih diposisikan sebagai salah satu faktor produksi yang produktivitas dan kreasi inovatifnya sangat menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran suatu negara. Konsepsi yang demikian pada dasarnya benar belaka, meskipun demikian sebenarnya terdapat sisi lain yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam menempatkan peran sumberdaya manusia bagi pembangunan ekonomi. Seperti diungkapkan oleh Mark Schug dan William Wood (2011), lebih dari sekedar berperan sebagai faktor produksi, sumberdaya manusia secara umum berperan pula sebagai pelaku ekonomi, yang keputusan dan tindakan ekonominya berpengaruh dan mewarnai kehidupan ekonomi tidak saja pada tataran mikro, tetapi juga makro. Mempertegas hal tersebut, Phillip vanFossen (2009), menyatakan bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan, selayaknya tidak sekedar difokuskan pada upaya meningkatnya produktivitas sumberdaya manusia dalam perannya sebagai tenaga kerja dan wirausaha yang menggerakkan mesin-mesin produktif perekonomian. Lebih dari itu, urgensi atas peningkatan kualitas sumberdaya manusia seharusnya diletakkan dalam cakrawala yang lebih luas, memandang sumberdaya manusia sebagai pelaku ekonomi yang tindakan-tindakan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kegiatan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, berdasar premis tersebut, seyogyanya diarahkan pada upaya membentuk sumberdaya manusia dengan perilaku ekonomi yang rasional, altruistik dan bermoral, baik dalam kegiatan produktif maupun konsumtif.

Mencermati dan memahami makna tentang kesejahteraan, seringkali terjadi kerancuan diksi antara kesejahteraan dan kebahagiaan. Pemikir-pemikir kesejahteraan subjektif mengungkapkan bahwa konsep tentang kesejahteraan, mengacu pada beragam studi ilmiah tentang kebahagiaan dan kepuasan hidup. Dengan demikian mereka mempercayai bahwa kebahagiaan merupakan bagian dari kesejahteraan. Seperti diketahui dalam pengukuran kesejahteraan subjektif, biasanya digunakan tiga indikator kesejahteraan utama, yaitu evaluasi kehidupan, emosi positif, dan emosi negatif (seringkali disebut sebagai pengaruh positif dan negatif). Pengukuran dan pemeringkatan kebahagiaan biasanya didasarkan pada evaluasi kehidupan, oleh karena evaluasi kehidupan yang diungkap oleh individu, dapat dijadikan sebagai ukuran kualitas hidup dan lebih stabil dibandingkan dengan indikator emosi positif atau negatif. Meskipun demikian tak dapat diingkari bahwa evaluasi kehidupan yang sebenarnya terkait dengan aspek kognitif, berkorelasi erat dengan aspek emosional. Menurut Diener et al. (1999) orang yang memiliki peringkat evaluasi kehidupan tinggi, cenderung melaporkan lebih banyak emosi positif yang menyenangkan, dibandingkan dengan orang yang peringkat evaluasi kehidupannya rendah. Berkenaan dengan hal tersebut, pengungkapan kesejahteraan subjektif secara makro pada tataran bangsa di seluruh dunia, digunakan indeks kebahagiaan (happiness index), sebagai cerminan hasil evaluasi kehidupan atau tingkap kepuasan hidup masyarakat di suatu negara. Terkait dengan hal tersebut, Indonesia menempati peringkat 87 dari 146 negara yang distudi, dengan indeks kebahagiaan sebesar 5,240 (berdasar skala tangga Cantril 0 terburuk dan 10 terbaik). Ada tujuh indikator yang dipakai untuk pemeringkatan indeks kebahagiaan, (1) rerata pendapatan nasional bruto, (2) dukungan sosial, (3) harapan hidup sehat, (4) kebebasan untuk membuat pihan hidup, (5) kemurahan hati, (6) persepsi korupsi dan (7) khayalan tentang kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan atau membahagiakan.

Dari uraian singkat terkait dengan kesejahteraan, nampak bahwa masalah kesejahteraan terkait dengan berbagai aspek kehidupan, secara fisik maupun psikologis. Meskipun demikian tak dapat diingkari kesejahteraan berkaitan erat pemenuhan kebutuhan dasar. Menurut Myers & Diener (1995), ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, kesejahteraan individu dan masyarakat akan cenderung menurun, namun demikian apabila kebutuhan dasar terpenuhi secara teratur, faktor-faktor lain menjadi penting seperti pengembangan diri dan hubungan sosial untuk dipenuhi dan berpengaruh terhadap kesejahteraan. Dari pemikiran tersebut, dapatlah dipahami bahwa dari berbagai aspek kehidupan yang menentukan kesejahteraan, aspek ekonomi menjadi kunci utama untuk membuka dan mengembangkan aspek-aspek lain, seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik dan sosial, ketenagakerjaan, kemiskinan, gaya hidup, dan akses terhadap teknologi untuk memperluas hubungan sosial. Perbaikan dan peningkatan kehidupan ekonomi pada tataran individu dan masyarakat, merupakan keniscayaan bagi peningkatan kesejahteraan bangsa.

Ada dua hal esensial yang melekat pada Ekonomi Kerakyatan, yaitu (1) peran sentral yang menjadi objek sekaligus subjek pembangunan ekonomi adalah masyarakat atau rakyat sebagai warga bangsa. Untuk itu keterlibatan seluruh lapisan masyarakat sebagai warga bangsa sangat penting untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan berupa kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Dengan demikian mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga capaian pembangunan ekonomi, semuanya dari, oleh, dan untuk rakyat; (2) keseimbangan dalam kegiatan berekonomi dan pelaku ekonomi, sehingga setiap lapisan masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi pada skala kecil, menengah, dan besar, terjamin peluangnya oleh negara untuk berkembang. Secara lebih operasional nilai-nilai Ekonomi Pancasila tersebar dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun Ekonomi Pancasila telah dengan jelas memiliki landasan yuridis yang mengikat untuk dilaksanakan terutama bagi pimpinan negara di tingkat pusat sampai ke daerah, realitasnya masih banyak ketentuan yuridis seperti terungkap dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang belum dibijaki dan diimplementasikan. Harapan bagi diterapkannya ketentuan yuridis tersebut tentu tidak boleh padam, dan diperlukan upaya serius tanpa henti untuk menyadarkan seluruh warga bangsa guna memperjuangkannya. Upaya yang demikian hanya akan efektif melalui pendidikan di berbagai jalur dan jenjang pendidikan.

Bertolak dari uraian di atas, secara ringkas dapat dinyatakan pendidikan ekonomi memiliki urgensi untuk membentuk manusia sebagai warga masyarakat dan warga bangsa yang memiliki perilaku ekonomi berkualitas, sehingga mereka mampu mencapai kehidupan ekonomi yang baik. Capaian kehidupan ekonomi yang baik, sebagai hasil pendidikan ekonomi, akan membawa seseorang mampu meraih kesejahteraan, oleh karena seperti telah terungkap sebelumnya bahwa dari berbagai aspek kehidupan yang menentukan kesejahteraan, aspek ekonomi menjadi kunci utama untuk membuka dan mengembangkan aspek-aspek lain dari kesejahteraan. Perbaikan dan peningkatan kehidupan ekonomi pada tataran individu dan masyarakat, merupakan keniscayaan bagi peningkatan kesejahteraan bangsa. Kepentingan untuk meningkatkan pendidikan ekonomi yang tujuan akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraan, selayaknya ditempatkan pada kerangka Ekonomi Pancasila yang menjadi cita-cita sekaligus anutan luhur bangsa Indonesia.

Rekomendasi yang dapat diajukan terkait dengan pemikiran di atas, (1) pengembangan sinergi Prodi Pendidikan Ekonomi dengan Prodi lain yang relevan untuk mengembangan program-program pendidikan ekonomi jalur informal dan non formal; (2) pengembangan program pembelajaran home economics untuk jenjang awal jalur pendidikan formal; (3) revitalisasi kurikulum pendidikan ekonomi di sekolah menengah pertama dan menengah atas, dengan memasukkan topik-topik altruisme, moralitas ekonomi dan ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan; (4) pengembangan matakuliah ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan untuk prodi pendidikan ekonomi.