image_pdf

Malang- Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial (PPKn FIS) menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema “Implementasi  Pembelajaran HOTS dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan”.  Seminar Nasional yang  dilaksanakan 22/8/2019 di Aula Ki Hadjar Dewantara FIS ini mengahdirkan narasuber:  Prof. Dr. H. Sapriyo, M.Ed, dari Universitas Pendidikan Indonesia,  Dr. J. Haryatmoko, Dosen Filsafat Universitas Samata Dharma Jogyakarta,  Dr. Hj. Sri Untari, M.Si,  Wakil Dekan II FIS UM, dan Dr. Nur Wahyu Rahcmadi, M.Pd, M.Si.

Kagiatan yang dibuka oleh Dekan FIS ini dihadiri sekitar 300 peserta terdiri dari guru-guru PPKn,  dan mahasiswa  SI, dan S2 Universitas Negeri Malang.  Dalam sambutanya Dekan FIS, Prof. Dr. Sumarmi, M.Pd, menjelaskan, ” Bapak, Ibu di Fakultas Ilmu Sosial ini ada 7 Prodi, menurut saya yang paling sulit itu PPKn.  Jadi prodi yang lain itu pelajaran-pelajaran biasa. Akan tetapi PPKn ini hanya menyampaikan materi saja, namun juga membangun karakter.  Membangun karakter ini istilahnya tidak seperti sulapan pada waktu yang singkat”.

“mengajarkan PPKn tidak hanya sekedar mengajar, akan tetapi harus dengan membarikan keteladanan.  Hal itu yang saya anggap sulit, kalau hanya diajarkan materinya aja, kata anak-anak itu di youtobe ada,” tambahnya.

Dr. J. Haryatmoko, menjelaskan implemetasi HOTS di Amerika,” anak SMA di Amerika jika liburan digunakan untuk magang kerja sosial dipanti asuhan, atau tinggal di rumah keluarga miskin pingiran kota.  Kegiatan semacam ini di beri sertifikat dan nilainya tinggi, dan nialainya bisa diakui apabila nanti kan melanjutkan di Perguruan Tinggi.

“mengubah karakter/ prilaku tidak hanya di ceramahi, dinasehati akan tetapi perlu di fasilitasi prasarana apa yang bisa merubah prilaku.  Jika Sistimnya di rubah, maka  prilaku juga akan berubah, “ ujarnya.

“mengubah untuk membantu perkembangan moral  tidak cukup diajarkan saja, tetapi harus mengalami sendiri, harus ada perjumpaan, sehingga penyampaian yang paling efektif adalah penyampaian yang paling implisif, dan yang paling implisif adalah teladan.  jadi memberi teladan itu tidak menggurui  tetapi memberikan model “tambahnya.

Dr. Sri Untari menjelaskan hakekat belajar,”  belajar menurut  Erich Fromm dalam modus “memiliki” menjadi  “menjadi”.  Dari menghafal menjadi memahami,  dari sifat fasip menjadi aktip.  Hal itu artinya tidak hanya sekedar diskusi menjawab pertanyaan dari gurunya. Biarkan anak-anak membahas persoalan yang terkait dengan tema yang bapak, ibu ajarkan.  Berpegang pada kepada apa yang telah mereka pelajari dari informasi terbaru, yaitu  dari hasil penelitian ini yang kita pakai.

“Sebenarnya kita sebagai pemulung  mengambil darisana dari sini di plih yang terbaik.  Jadi pemegang penyimpan pengetahuan anak-anak biasanya tidak ingin ditanya gurunya. itu artinya kita tidak menjadikan mereka kreatif,” paparnya.

“Pada saat ini wiswa dituntut harus produktip, akan tetapi tidak perlu menciptakan sesuatu yang baru.  Nilai-nilai Pancasila Jangan di serahkan kepada siswa.  Mereka bisa diminta untuk mengidentivikasi dalam bentuk tulis. Jadi hal itu menjadi produk dari anak-anak karena mencari dari berbagai macam sumberb sebagai sumbar telaah,”tambahnya.

“problem mesti ada dan mesti dapat kita pecahkan, meskipun itu berproses, jangan berhenti beinovasi, karena Indonesia membutuhkan bapak, ibu sebagai teladan bagi anak-anak kita, “pesanya.

Penulis: Budiharto

Foto grafer: Ian Fadjrin